Setelah mengikuti pelatihan meta-coaching pada bulan November yang lalu, saya merasa ada yang perlu saya lakukan untuk mendefinisikan ulang tentang “orang gila”. Tak hanya berhenti pada pendefinisian, saya bahkan juga harus siap menerima kenyataan jika kemudian saya termasuk dalam kategori “orang gila”.
Banyak hal yang saya pelajari tentang meta coaching, sebuah pendekatan neuro-semantics untuk memahami pikiran dan tubuh manusia yang digagas oleh L. Michael Hall dan Michele Duval. Tetapi tema yang mampu mengaduk-aduk dan memporakporandakan pemahaman saya tentang “body, mind, dan soul” adalah 4 istilah, yaitu Thinking, Feeling, Speaking, dan Behaving. Dalam bahasa Indonesia, Coach Mohammad Utoro, ACMC mengemasnya dalam singkatan PRUL (Pikiran, Rasa, Ucap, dan Laku).
Sejatinya, tidak ada hal yang baru dari TFSB/PRUL tersebut. Saat saya mengikuti pelatihan “Kubik Leadership” gagasan tentang TFSB/PRUL juga dibahas. Demikian pula dalam pelatihan Quantum Ikhlas, TFSB/PRUL adalah tema yang sangat penting. Dalam yoga yang berarti penyatuan antara diri (atman) dengan Brahman (Yang Maha Kuasa), pemahaman tentang TFSB/PRUL menjadi perhatian utama.
Jika tidak ada hal-hal yang baru, lalu apa yang “istimewa” dari TFSB/PRUL?. Selama ini, saya “kesulitan” untuk mendefinisikan tentang kesadaran. Berbagai definisi tentang kesadaran yang saya baca dari berbagai sumber dan pakar, bagi saya terlalu ribet dan rempong. Tetapi dengan menggunakan TSFB/PRUL, maka makna tentang kesadaran menjadi lebih mudah saya pahami.
Menurut pendapat subyektif saya, kesadaran adalah keadaan pada saat pikiran dan perasaan mengetahui, memahami, meyakini, menyetujui, dan bersedia bertanggung jawab atas ucapan dan perilaku.
Pada saat manusia mencapai keadaan sadar, ada koneksi, kebersamaan, dan keselarasan antara body (tubuh), mind (pikiran), dan soul (jiwa, atau saya lebih suka menyebut qalbu). Dalam keadaan sadar, pikiran dan jiwa berada dalam keadaan “berdaulat dan berkuasa” penuh terhadap tubuh.
Image courtesy of Lynne Meredith Golodner
Idealnya, manusia selalu dalam keadaan sadar setiap saat dan selama hayat dikandung badan, terutama setelah aqil-balik atau dewasa menurut pengertian umum. Setiap manusia harus selalu sadar karena kelak setiap manusia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan selalu sadar, maka ruang dan kesempatan untuk kesalahan dan melanggar perintah Tuhan dibatasi dan dikendalikan. Dengan selalu sadar, manusia kelak akan jauh menjadi lebih mudah untuk mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya.
***
Apa hubungan antara kesadaran dan gila? Bagi saya pribadi, kesadaran tidak sekedar berarti siuman dan tidak sadar bukan sekedar berarti pingsan. Siuman dan pingsan hanya menggambarkan keadaan tubuh, tetapi tidak menggambarkan keadaan pikiran dan qalbu.
Bagi saya, manusia yang tidak sadar adalah orang gila. Selama ini, kita terbiasa mendefinisikan orang gila sebagai orang yang hilang ingatan, baik mereka yang dirawat di rumah sakit khusus orang-orang gila maupun orang-orang gila yang berkeliaran di jalan raya. Seolah-olah, saat ingatan sudah diketemukan kembali, orang-orang yang semula gila sudah dapat disebut sebagai orang “normal”.
Pemahaman orang gila seperti itu terlalu sempit. Bagi saya, manusia yang pikiran dan perasaannya tidak mengetahui, tidak memahami, tidak meyakini, dan tidak menyetujui apa yang diucapkan dan dilakukan, sudah dapat disebut orang gila. Jadi, meskipun tidak hilang ingatan, seseorang tetap saja menjadi orang gila selama ia tidak berada dalam kesadaran.
Jangan kaget jika orang-orang yang selama ini kita anggap sebagai orang-orang yang sehat jasmani dan rohani, setelah menggunakan definisi kesadaran yang saya gunakan, ternyata tidak lebih sebagai orang gila. Juga jangan kaget, jika orang-orang yang selama ini rajin dan tekun mengerjakan sholat 5 waktu dan semua sholat yang disunahkan untuk dikerjakan, setelah menggunakan definisi kesadaran yang saya gunakan, ternyata adalah orang gila yang paling “top markotop”.
Untuk memudahkan memahami bahwa manusia yang tidak sadar adalah manusia gila, saya meminjam contoh pelaksanaan ibadah sholat. Dalam buku Tuntunan Sholat lengkap, Ustadz Abdurrahim menjelaskan sebagai berikut : “shalat dalam bahasa Arab adalah do’a. Menurut istilah syara’, shalat ialah ibadah kepada Allah dalam bentuk beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam yang dilakukan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan syara’.”
Tentu saja perkataan dan perbuatan yang dilakukan dalam shalat bukan abal-abal. Harus ada kesadaran saat manusia mengucapkan ikrar “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku semua hanya untuk Allah, Tuhan seru sekalian alam.” Pikiran dan perasaan manusia harus secara pasti mengetahui, memahami, meyakini, dan menyetujui saat mengucapkan “tunjukilah kami jalan yang lurus”.
Artinya, setelah shalat, manusia tetap harus dalam keadaan sadar. Pikiran dan perasaan manusia harus memastikan bahwa ucapan dan perilaku yang ditunjukkan harus sesuai dengan ikrar dan permohonan yang telah disampaikan di dalam shalat. Bagaimana jika setelah shalat manusia tidak dalam kesadaran?
Sebutan apa yang pantas diberikan kepada manusia yang pikiran dan perasaannya tidak mengetahui, memahami, meyakini, dan menyetujui saat ia mengucapkan do’a iftitah? Prediket apa yang pantas disandang oleh manusia yang memohon diberikan petunjuk jalan yang lurus, tetapi pikiran dan perasaannya tidak mengetahui, memahami, meyakini, dan menyetujui perbuatan yang dilakukan? Menurut hemat saya, tidak ada sebutan yang lebih pantas kecuali sangat gila dan sangat kurang ajar.
Orang-orang yang tidak sadar saat sekedar mengerjakan shalat, sejatinya tidak sedang mendirikan shalat. Karena pikiran dan perasaannya belum tentu mengetahui, memahami, meyakini, dan menyetujui perkataan dan perbuatan yang dilakukan selama shalat.
Itulah sebabnya seseorang yang sudah beristri dan mengerjakan shalat, bahkan mengerjakan rukun Islam secara lengkap, masih juga “jajan” dan “dokter-dokteran” bersama perempuan lain tidak dalam ikatan perkawinan. Warna Warna hitam yang membekas di kening seseorang sama sekali bukan pertanda bahwa orang-orang yang mengerjakan shalat adalah manusia yang sadar.
Itulah sebabnya seorang pejabat yang sudah mengucapkan sumpah jabatan dan menandatangani pakta integritas masih juga melakukan tindak pidana korupsi. Sumpah jabatan dan pakta integritas tidak ada apa-apanya dan tidak sekuat ikrar yang diucapkan pada saat mengerjakan shalat. Kalau kepada Tuhan saja manusia berani kurang ajar, apalagi kepada rakyat, bangsa dan negara.
Kalau kepada Tuhan saja manusia sudah terbiasa dan merasa biasa-biasa saja berbohong, apalagi kepada orang lain. Kalau kepada Tuhan saja manusia sudah terbiasa dan merasa biasa-biasa saja berpura-pura, apalagi kepada orang lain. Sejatinya, setiap manusia yang tidak sadar, adalah the great pretender.
***
Menurut pendapat subyektif saya, semua pendidikan mulai dari pendidikan dalam keluarga, sekolah, maupun pendidikan agama, berusaha untuk menfasilitasi agar manusia menemukan, mencapai, dan selalu mempertahankan kesadaran dalam menjalankan hidup.
Pendidikan bukan untuk membuat manusia menjadi takut dan hitung-hitungan. Saya tidak mengerti mengapa manusia selalu ditakuti-takuti dengan neraka. “Survei membuktikan” bahwa dengan selalu ditakut-takuti, manusia tidak juga menemukan kesadaran. Alih-alih takut, manusia justru tidak jera mempermainkan Tuhan.
Demikian juga “iming-iming” pahala dan surga, hanya menjerumuskan orang menjadi pandai dalam hal hitung-hitungan balasan yang akan diterima dari Tuhan. Iming-iming pahala dan surga tidak berhasil memfasilitasi manusia mencapai kesadaran untuk beribadah. Ibadah dikerjakan lebih atas dasar motivasi transaksional.
Kontribusi pendidikan (keluarga, sekolah, dan agama) dalam hal mencerdaskan otak manusia tak perlu diragukan. Tetapi kontribusi pendidikan (keluarga, sekolah, dan agama) dalam hal membentuk manusia yang sadar setiap saat dan sepanjang hayat di kandung badan, masih menyisakan tanda tanya besar.
Mengapa manusia tidak mau dan tidak mampu sadar setiap saat selama hayat di kandung badan? Sepengetahuan saya, hal itu disebabkan kegagalan, keengganan, kemalasan, ketidakmauan, dan ketidakmampuan manusia “menghadirkan” Tuhan dalam kehidupannya setiap hari dan setiap saat. Bahkan, pada saat melaksanakan kewajiban ibadah formal, manusia masih juga gagal “menghadirkan” Tuhan.
Tampak Siring, 14 Desember 2013