Belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar tidak sulit. Tetapi menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar seringkali tidak mudah. Dalam beberapa kesempatan saya mencobanya, selalu timbul komentar “miring” dari orang lain. Minimal, saya harus siap dicap suka mengada-ada. Singkat kata, seseorang yang berlagak seperti “Ayatullah bahasa” pasti tidak popular.
Bagi sebagian besar orang Indonesia, termasuk saya, seringkali menganggap bahasa adalah urusan rasa. Domain rasa adalah “enak” dan “tidak enak”, bukan “benar” atau “salah”. Tidak banyak orang yang sependapat bahwa kemampuan berbahasa yang baik dan benar juga menggambarkan kemampuan berpikir analitis, logis, terstruktur, dan sistematis.
Saya sering mengajak para sahabat saya untuk menulis dan bercerita. Sebagian besar menolak dan menganggap menulis itu sulit, ada juga yang “menyalahkan” bakat. Mengapa menulis dianggap sulit? Sebagian besar teman saya berpendapat bahwa menulis yang terstruktur dan sistematis itu sulit. Mungkin yang lebih tepat adalah – jika mereka menulis – “takut” tulisan mereka menggambarkan kemampuan berpikir yang tidak analitis, logis, terstruktur, dan sistematis.
Cukup banyak kata yang digunakan secara tidak tepat dan sudah terlanjur salah kaprah. Para pengguna bahasa Indonesia tidak mempermasalahkan penggunaan bahasa Indonesia yang “amburadul” dan “acak adul”. Para ahli bahasa mungkin juga sudah kehabisan akal dan tenaga untuk selalu mengingatkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Analogi “pembiaran” penggunaan bahasa Indonesia yang tidak baik dan tidak benar hanya beda-beda tipis dengan “pembiaran” pelanggaran lalu lintas. Mungkin, pelanggaran lalu lintas masih dapat ditolerir asalkan tidak terjadi di “kawasan tertib lalu lintas”. Padahal, di “zaman Yus Badudu”, kata “silakan” dan “silahkan” selalu dibahas. Menurut Yus Badudu, yang benar adalah “silakan” (dalam bahasa Inggris please).
Berikut ini adalah beberapa contoh penggunaan bahasa Indonesia yang tidak tepat :
Akhiran “nya”
Kata “nya” seringkali digunakan secara serampangan dan sembarangan dalam berbagai kesempatan, baik bahasa tulisan dan terutama bahasa lisan. Di masa lalu pernah ada novel yang berjudul “Robohnya Surau Kami” dan “Tenggelamnya Kapal van der Wijk”. Siapa yang dimaksud dengan “nya” dalam kedua judul tersebut?
Kata “nya” dalam bahasa Indonesia adalah kata ganti orang ketiga dan kata kepemilikan. Dalam komunikasi sehari-hari dan bahasa lisan, orang sangat royal menggunakan kata “nya” tanpa bermaksud mengatakan ada orang ketiga atau menunjukkan kepemilikan. Bahasa iklan dan para presenter di televise swasta nasional paling sering menggunakan kata “nya” tanpa memahami telah terjadi kesalahan. Contoh : ahlinya teh, tentunya, pastinya, akhirnya dan lain sebagainya.
Beberapa tahun yang lalu, saat saya tinggal di kota Semarang, saya juga menemukan penggunaan kata “nya”. Ada sebuah perusahaan taksi yang mengusung jargon “taksinya orang Semarang”. Sebuah radio swasta nasional pun memproklamirkan sebagai “radionya orang Semarang”. Masih banyak lagi “ ……nya orang Semarang” yang tak perlu saya sebut satu persatu.
Saya pun sering dibuat bingung oleh ibu-ibu tetangga yang bertanya tentang apakah istri saya ada di rumah, tetapi menggunakan pertanyaan yang salah kaprah “Pak Wisang, apakah istrinya ada? (lebih tepat, “Pak Wisang, apakah istri ada di rumah”?). Saat bertamu di kantor relasi pun saya sering dibuat bingung dengan bahasa Indonesia yang digunakan tuan rumah “Pak Wisang, handphonenya jangan ketinggalan” (lebih tepat, “Pak Wisang, jangan ketinggalan handphone”). Tetapi karena saya dapat “menangkap” arti kalimat yang disampaikan ibu-ibu tersebut, saya tidak merasa perlu mengoreksinya.
Dalam bahasa tertulis seperti laporan resmi perusahaan dan organisasi, salah penggunaan kata “nya” juga lazim ditemukan. Bahkan, dalam skripsi, tesis, dan disertasi pun salah penggunaan kata”nya” bukan hal yang langka. Tetapi karena kita mampu berkomunikasi dengan mengandalkan penafsiran, maka penggunaan kata “nya” yang kurang tepat lebih sering tidak dipermasalahkan. Sementara bagi orang asing yang baru belajar bahasa Indonesia, penggunaan kata “nya” bisa membingungkan.
Kata “itu”.
Nasib kata “itu” setali tiga uang dengan kata “nya”, sering digunakan tidak tepat. Sebut saja contoh “kecil itu indah”, dan “bersih itu sehat”. Jika kedua jargon itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris secara harfiah, maka terjemahannya menjadi “small that beautiful” dan “clean that healthy”. Orang asing akan lebih mudah menterjemahkan ke dalam bahasa Inggris jika kata “itu” diganti dengan “adalah”, sehingga menjadi “kecil adalah indah” dan “bersih adalah sehat”.
Kakek dan nenek moyang kita mempunyai beberapa peribahasa yang “menghilangkan” kata “itu”, tetapi justru tidak mengubah makna dan tidak sampai mengganggu. Sebagai contoh “hemat pangkal kaya” (mengapa bukan “hemat itu pangkal kaya”), “air beriak tanda tak dalam” (mengapa bukan “air beriak itu tanda tak dalam”?)
Sejak dini, di sekolah kita sudah diajarkan untuk “menghilangkan” kata adalah. Menurut saya, kalimat yang tepat adalah “ini adalah Budi” dan “ini adalah ibu Budi”, bukan “ini budi” dan “ini ibu Budi”. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dua kalimat terakhir akan berbunyi sebagai berikut : “this Budi” dan “this Budi’s mother”.
Keberadaan kata “itu” jadi mengganggu, terutama jika bagi orang asing. Saat dihilangkan, justru tidak mengganggu makna dan penterjemahan ke dalam bahasa asing. Lebih tepat lagi jika kata “itu” diganti dengan “adalah”. Coba-en Rek!
Sumber : http://www.kolomkita.detik.com
“Kalau begitu …..”
“Kalau begitu……” seringkali digunakan untuk mengawali kesimpulan dan mengakhiri pertemuan. Bagi saya, penggunaan “kalau begitu…..” seringkali membingungkan. Contoh : “kalau begitu, saya mengucapkan terima kasih”, “kalau begitu, saya mohon pamit”.
Saat lawan bicara saya mengatakan “kalau begitu……”, saya seringkali pura-pura tidak mengerti dan “usil” bertanya. Apa maksud anda dengan “kata begitu…..”? Bagaimana dengan “kalau begini…..”. Apakah “kalau begini, saya tidak terima kasih”, “kalau begini, saya tidak pamit”.? Ternyata, bukan seperti itu yang dimaksud oleh lawan bicara saya.
Saya mencoba memahami kalimat “kalau begitu, saya mengucapkan terima kasih” kira-kira begini : karena saya sudah diberikan kesempatan bertemu dan menyampaikan keinginan dan harapan saya, maka saya mengucapkan terima kasih. Sedangkan untuk kalimat “kalau begitu, saya mohon pamit pulang” kurang lebih bermakna sebagai berikut : “semua sudah kita diskusikan bersama dan sudah jelas, jika tidak ada hal-hal penting lain yang perlu kita diskusikan, maka saya mohon pamit mundur.
Kalimat versi saya untuk menggantikan kalimat “kalau begitu…..” terkesan panjang dan bertele-tele. Sebagian besar orang Indonesia pasti sudah mengerti makna “kalau begitu….”, meskipun dengan cara menebak dan tanpa klarifikasi lagi. Tetapi bagi orang asing yang baru belajar bahasa Indonesia, kalimat “kalau begitu ……” bisa membingungkan mereka.
Saat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, kita memang seringkali mengandalkan penafsiran dan mengasumsikan penafsiran kita benar. Baru pada saat bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa hukum, kita setuju bahwa penafsiran bisa merugikan diri sendiri.
Pernah ada mantan pejabat orde baru yang lolos dari tuntutan hukuman. Dalam persidangan, jaksa menuduh mantan pejabat tersebut “telah menerima uang suap”. Apa yang dimaksud dengan “menerima”? Menerima dengan tangan sendiri, atau termasuk juga dengan menerima dengan menggunakan tangan orang lain? Singkat cerita, karena tidak pernah “tertangkap tangan” (menerima dengan tangan sendiri), mantan pejabat itu lolos dari jerat hukum. Nah lo!
Bahasa Asing
Saya seringkali tidak mengerti mengapa orang suka lebay menggunakan bahasa asing (terutama Inggris) untuk kata yang ada istilahnya dalam bahasa Indonesia. Di toilet di sebuah masjid agung di bilangan Kebayoran Baru tertulis begini : “exit”.
Aneh, mengapa harus bahasa Inggris? Bukankah ada istilah “keluar” untuk menunjukkan arah ke luar. Bukankah kemungkinan besar orang-orang yang hadir di masjid adalah umat Islam?. Kalaupun ada tamu asing, kemungkinan besar dari negara-negara yang menggunakan bahasa Arab. Jadi, kalau tetap mau memaksakan diri berbahasa asing, gunakanlah bahasa Arab di lingkungan masjid.
Timnas sepakbola Indonesia yang sempat kecewa dan “sewot” gara-gara harus mengenakan kostum tandang di SUGBK saat meladeni timnas Belanda, ternyata juga tidak konsisten. Saat sesi pemotretan, timnas Indonesia mengenakan kostum merah putih, dengan latar belakang bendara merah putih, tetapi dengan tulisan “my time is now”. Ngono yo ngono, ning ojo ngono.
Orang seringkali lupa saat berkomunikasi menggunakan bahasa asing adalah seperti keping mata uang yang bermuka dua. Di satu sisi, berbahasa asing mungkin dimaksudkan untuk “mendongkrak” status sosial dan sinyal kepada orang lain tentang “siapa gue”. Sisi yang lain, dan ini yang lebih benar, adalah bentuk ketidakpercayaan diri yang parah. Last but not least (maaf, sekali-sekali bahasa Inggris), penggunaan bahasa asing adalah bentuk pelecehan kepada bahasa Indonesia.
***
Bahasa adalah budaya bangsa. Budaya adalah hasil cipta, rasa dan karsa dari masyarakat dan bangsa. Selama menggunakan bahasa Indonesia yang tidak tepat dan tidak benar tidak menimbulkan masalah dan konflik sosial, mungkin kita tidak akan berusaha belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar dan menggunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi pengguna bahasa, rasa berbahasa lebih penting ketimbang baik dan benar. Itulah sebabnya, ketika dahulu Pak Harto sering menggunakan akhiran “ken” daripada “kan”, tidak ada yang berani mengingatkan. Bahkan, kebiasaan Pak Harto dicontoh oleh banyak orang. Setelah Pak Harto wafat, saya jarang mendengar orang mengucapkan “ken” lagi.
Ada sebuah lelucon tentang kebiasaan Pak Harto menggunakan “ken”. Konon, karena sering diisukan atau diberitakan “macem-macem”, mbak Tutut mengadu kepada Pak Harto. Karena sibuk, Pak Harto hanya menasehati mbak Tutut dengan kalimat yang singkat dan padat “biar-ken Tut” (baca : biar kentut). Tentang lelucon ini memang benar-benar ada atau mengada-ada, silakan anda investigasi sendiri. Saya pastikan, “isi lelucon di luar tanggung jawab penulis”.
Tampak Siring, 3 Agustus 2013