RSS

Mangkus dan Sangkil

19 Jun

Selama menjadi “santri” di “pondok pesantren manajemen” saya belum pernah mendengar para “kyai manajemen” menggunakan  mangkus dan sangkil sebagai padanan dari kata-kata efisien dan efektif. Saya juga belum pernah menemukan dalam karya tulis tentang manajemen (buku, makalah, jurnal, majalah, dan lain sebagainya) menggunakan kata-kata mangkus dan sangkil.

Iki piye iki piye. Dari zaman Bapak Manajemen Modern Frederick F. Taylor sampai saat ini, manajemen tidak pernah “lari” dari pembahasan tentang efisien, efektif, produktif, dan inovatif. Apapun teori, konsep, dan pendekatan yang digunakan, manajemen “ujung-ujungnya” selalu berbicara tentang efisien, efektif, produktif dan inovatif.

Iki piye iki piye. Istilah mangkus dan sangkil sudah lama disosialisasikan oleh para ahli bahasa. Apakah tidak bisa menghargai karya para ahli bahasa yang sudah “membanting tulang” untuk menerjemahkan kata-kata asing ke dalam bahasa Indonesia?. Apakah memang kita malu menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air.

Apakah sebagian besar dari kita memang tidak mampu (dan tidak memiliki kemauan) untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? Apakah memang kita mesti belajar dari pebalap Motor GP dari Spanyol, Jorge Lorenzo dan Dani Pedrosa yang masing-masing menggunakan bahasa Indonesia “Semakin Di Depan” dan “Satu Hati” di kostum dan motor balap mereka.

Benar, Lorenzo dan Pedrosa dibayar untuk menggunakan kostum yang telah dibiayai oleh para sponsor. Ada kepentingan komersial, bukan promosi tentang Indonesia. Tim pabrikan sadar bahwa penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta orang merupakan pasar otomotif yang gurih dan potensial untuk meraih keuntungan.

Sebagai orang Indonesia, tidak alasan bagi kita untuk tidak mendahulukan bahasa Indonesia. Tetapi selalu saja das Sollen (apa yang seharusnya) dan das Sein (apa yang ada) bertolak belakang. Justru orang-orang yang sepatutnya berbahasa Indonesia secara baik dan benar, sama sekali tidak menunjukkan keteladanan berbahasa yang baik dan benar.

Sebagai contoh adalah beberapa anomali yang saya temukan di “pondok pesantren manajemen”. Saya tidak mengerti mengapa untuk memberi nama toko buku pun menggunakan bahasa Inggris “book store”.  Untuk memberi nama sebuah perpustakaan pun menggunakan kata library. Saya juga tidak habis pikir, mengapa untuk memberi nama Executive Lounge, kok tidak menggunakan bahasa Indonesia saja, misalnya Adi Sasana (Sasana Utama). Apakah karena “bertaraf internasional”?.

Masih dapat diterima jika dua bahasa yang digunakan, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.Tetapi jika hanya bahasa Inggris yang digunakan, sungguh tidak ada relevansi dan kemendesakan (urgensi) untuk menggunakannya, apalagi di wilayah Indonesia.

Dalam perjanjian bisnis juga lazim digunakan dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Tetapi aturan yang harus dihormati adalah jika terjadi perbedaan penafsiran arti tentang suatu hal, maka bahasa Indonesia yang digunakan. Sudah tepat jika pengadilan memilih bahasa Indonesia yang digunakan sebagai referensi utama. Hal ini mengacu pada kelaziman pilihan domisili (choice of domicile) dan pilihan hukum (choice of law) di Indonesia, sehingga harus menggunakan bahasa Indonesia.

Saya masih bisa memahami jika petunjuk dalam bahasa Inggris “didampingi” oleh bahasa Indonesia. Di negara-negara lain praktek yang sama juga dilakukan. Di Barcelona, setiap petunjuk tentang benda, tempat, arah, dan lain sebagainya selalu menggunakan 3 bahasa, yaitu bahasa Inggris, bahasa Spanyol, dan bahasa Catalan. Barcelona adalah bagian dari Spanyol. Tetapi masyarakat Barcelona sangat bangga dengan budaya dan bahasa Catalan. Bahkan, dalam berbagai kesempatan El Clasico FC Barcelona dan FC Real Madrid, fans Barcelona terlalu bersemangat memajang spanduk bertuliskan “Catalonia is not Spain”. Wow.

***

Apa yang kurang dari bahasa Indonesia? Bukankah bahasa menunjukkan bangsa? Mungkin saja ada kekurangan bahasa Indonesia. Tetapi yang  pasti yang kurang adalah manusia Indonesia, yaitu “kurang ajar” tidak menghargai bahasa Indonesia. Termasuk saya yang sering menggunakan istilah bahasa Inggris untuk judul tulisan saya dalam blog saya (misalkan “Nothing is impossible” dan “Arriverdeci Carlito”)  dan judul rubrik blog (contoh “el silencio”).

Barangkali, jika para pemuda dan pemudi  yang berikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928 mengetahui anak cucu mereka tidak menghargai bahasa Indonesia mereka akan kecewa sekali. Satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yang diperjuangkan dengan pengorbanan darah dan nyawa kurang mendapatkan penghargaan yang sepatutnya dari generasi penerus.

Saya salut terhadap bangsa Jerman yang gigih memajukan bahasa Jerman agar menjadi salah satu bahasa yang dipergunakan dalam komunikasi internasional. Kepada para penerima beasiswa untuk sekolah di perguruan tinggi maupun pelatihan-pelatihan jangka pendek (3 bulan sampai 1 tahun), orang-orang Jerman “memaksa” orang-orang dari bangsa lain untuk belajar bahasa Jerman. Mereka tidak peduli orang lain sampai “keseleo lidah” untuk berkomunikasi dalam bahasa Jerman.

Kegigihan bangsa Jerman memajukan bahasa Jerman membuahkan hasil yang manis. Di dunia nyata, bahasa Inggris adalah bahasa internasional, di samping bahasa China, Arab, Perancis, dan Jerman. Bahasa Jerman hanya digunakan oleh negara-negara tetangga Jerman, antara lain Swiss dan Austria. Tetapi di dunia maya, bahasa Jerman adalah bahasa nomor 2 yang digunakan untuk berkomunikasi di tingkat internasional.

Sungguh aneh memang orang Indonesia. Negara yang terdiri dari beribu-ribu pulau dengan suku bangsa, budaya dan bahasa yang berbeda-beda, tidak mampu merasakan betapa penting arti dari sebuah bahasa nasional. Orang-orang Indonesia mesti belajar dari bangsa India yang tidak memiliki bahasa nasional sebagai bahasa pemersatu untuk rakyat India yang juga tidak kalah bhinneka dibandingkan Indonesia.

Bild

Sumber : mahessaangga.blogspot.com

Penghormatan dan penghargaan yang sangat kurang terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa dalam komunikasi sehari-hari maupun di tempat kerja menunjukkan bahwa peringatan Hari Kebangkitan Nasional dan hari Sumpah Pemuda yang setiap tahun kita rayakan masih terbatas sekedar ritual tanpa makna.

***

Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar bukan suatu pilihan, tetapi kewajiban. Untuk itu diperlukan rasa hormat kepada bahasa Indonesia, komitmen dan konsistensi dalam penggunaannya. Tidak hanya dalam jurnal ilmiah maupun makalah resmi, melainkan terutama dalam komunikasi sehari-hari, baik tulisan dan terutama lisan.

Sejatinya, bahasa Perancis dan bahasa Jerman sangat ruwet, terutama dalam hal penggunaan artikel. Bahasa Perancis relatif lebih sederhana, karena “hanya” memiliki 2 artikel untuk setiap benda, untuk laki-laki maupun perempuan. Bahasa Jerman lebih “njelimet” lagi dan memiliki 3 artikel untuk setiap kata benda. Sama seperti bahasa Perancis, tetapi bahasa Jerman mengenal artikel untuk kata benda netral, yaitu das.

Bagi orang-orang asing yang belajar bahasa Perancis dan bahasa Jerman, artikel tersebut sangat membingungkan. Bahkan, secara umum kesan dan pendapat subyektif saya, jika semua artikel itu dihapuskan saja, juga tidak ada efek apapun terhadap kedua bahasa tersebut.

Tetapi bangsa Perancis dan bangsa Jerman tetap bergeming menggunakan artikel untuk kata benda. Komitmen dan konsistensi kedua bangsa tersebut untuk berbahasa secara benar tidak pernah lekang karena panas dan tidak pula lapuk karena hujan.

Almarhum Taufik Kiemas menyebut ada 4 pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Menurut saya, bahasa Indonesia adalah hasil cipta, rasa dan karsa dari para leluhur yang juga patut disebut sebagai pilar kehidupan berbangsa dan bernegara.

 Tampak Siring, 19  Juni 2013

 
Leave a comment

Posted by on June 19, 2013 in Selasar

 

Leave a comment