RSS

Category Archives: Management

Situational Leadership and Group Development

Apakah ada hubungan antara gaya kepemimpinan dan tahap-tahap perkembangan kelompok (group development)? Apakah untuk setiap tahap perkembangan kelompok membutuhkan pemimpin yang mampu mengimplementasikan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda?

Sebagaimana telah diketahui bersama, komponen dari kepemimpinan adalah pemimpin, pengikut, situasi, dan komunikasi. Para pengikut pemimpin dapat merupakan individu-individu maupun kelompok sosial.

Situational Leadership yang digagas oleh Paul Hersey dan Ken Blanchard fokus pada followers readiness (kesiapan para pengikut) dalam konteks individu. Artinya, gaya kepemimpinan akan berubah sesuai dengan tingkat kesiapan dari individu yang dipimpin.

Perkembangan dalam ilmu manajamen, terutama teori-teori kepemimpinan, menunjukkan bahwa, gaya kepemimpinan dipengaruhi oleh perkembangan kelompok. Setiap perkembangan kelompok menunjukkan tingkat kesiapan kelompok (group readiness) yang berbeda-beda. Karena itu, untuk setiap kelompok yang berbeda, diperlukan gaya kepemimpinan yang berbeda pula.

Tahap-Tahap Perkembangan Kelompok

DR. Bruce Tuckman pertama kali memperkenalkan teorinya tentang group development stage model pada tahun 1965. Menurut Tuckman, setiap kelompok akan mengalami tahap-tahap perkembangan mulai dari forming, storming, norming dan performing. Pada tahun 1970, Tuckman menambahkan satu tahap lagi, yaitu adjourning. Tahap adjourning semacam tahap “pembubaran panitia”. Artinya, tahap adjourning ditemukan dalam kelompok sosial dibentuk untuk waktu tertentu.

Dalam buku mereka yang berjudul “Group Development and Situational Leadership”, D. Carrew, E. Carrew dan K. Blanchard (1986) menggunakan istilah lain yang digunakan untuk mendeskripsikan tahap-tahap perkembangan kelompok, yaitu:  orientation (forming), dissatisfaction (storming), resolution (norming), dan production (performing). Secara substansi tidak ada perbedaan antara istilah-istilah tersebut.

Definisi, Karakteristik Tim, Keterampilan dan Akvititas-aktivitas yang Penting, dan peran dari fasilitator / pemimpin dalam setiap tahap perkembangan kelompok dirangkum dalam tabel 1 sebagai berkut :

Secara hipotetis dapat dikatakan bahwa, seiring dengan pertambahan waktu dan perkembangan kelompok, prestasi dari kelompok akan semakin bertambah baik. Penurunan kinerja terjadi pada tahap storming, di mana konflik di antara anggota kelompok mendominasi hubungan antarmanusia dan kerja sama tim. Prestasi kembali bertambah baik dalam tahap norming dan mencapai puncaknya pada tahap performing.

Mengingat karakteristik, isu-isu penting, dan tantangan yang dihadapi oleh kelompok pada masing-masing tahap berbeda, gaya kepemimpinan yang sesuai dari seorang pemimpin akan mempengaruhi proses dan hasil yang berbeda yang dicapai kelompok.

4 Gaya Kepemimpinan

Menurut Hersey dan Blanchard, ada 4 gaya kepemimpinan yang berbeda-beda untuk setiap jenis situasi yang berbeda. Gaya kepemimpinan tersebut adalah Directing, Coaching, Supporting, dan Delegating. Keempat gaya kepemimpinan diperoleh melalui kriteria atau variabel tugas dan hubungan.

Gaya kepemimpinan directing ditandai peran pemimpin yang sangat sentral dalam memberikan pengarahan, tetapi kurang dalam hal memberikan dukungan kepada bawahan.  Pemimpin bertindak dengan prinsip “the King can do no wrong” dan menginstruksikan bawahannya apa, bagaimana, kapan dan di mana tugas-tugas harus dilakukan. Para pengikut tidak memiliki inisiatif, semua bersifat “top down” dari pimpinan.

Gaya kepemimpinan coaching (kadang-kadang disebut “selling”) masih ditandai oleh peran pemimpin yang sentral dalam pemberian instruksi. Meskipun demikian, pemimpin juga memberikan dukungan yang tinggi terhadap bawahannya untuk melaksanakan tugas-tugas mereka.

Situational Leadership Model by Paul Hersey and Ken Blanchard

Dalam gaya kepemimpinan participating, pemimpin mulai mengurangi “porsi” memberikan instruksi. Sebaliknya, pemimpin mulai memberikan dukungan lebih besar kepada bawahan mereka. Hubungan tidak lagi ditandai oleh top-down, melainkan juga bottom-up.  Pemimpin mulai melibatkan bawahan dalam proses pengambilan keputusan. Peran utama pemimpin adalan memfasilitasi dan membangun komunikasi dengan bawahan.

Gaya kepemimpinan delegating ditandai oleh kondisi di mana peran pemimpin dalam pemberian instruksi dan dukungan kepada bawahan mulai berkurang. Artinya, pemimpin tidak lagi bertindak “menggurui” dan menjadi “watch dog” terhadap bawahan mereka. Sesekali pemimpin memberikan pengarahan dan dukungan, tetapi bawahan lebih proaktiv dalam membuat perencanaan dan mengimplementasikannya.

Gaya Kepemimpinan dan Perkembangan Kelompok

4 gaya kepemimpinan yang berbeda sesuai untuk tahap perkembangan kelompok tertentu. Gaya kepemimpinan directing sesuai dengan tahap forming, coaching sesuai dengan kelompok dalam tahap storming, participating sesuai dengan norming, dan delegating sesuai dengan kelompok performing.

Dalam bukunya yang berjudul “Management Fundamentals, Concept Application Skill Development”, SRobert N. Lussier (2006) menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan dan perkembangan kelompok sebagaimana ditunjukkan dalam gambar berikut :

Situational Leadership Model by Robert N. Lussier

Gaya kepemimpinan directing diperlukan pada tahap forming. Dalam keadaan semua hal belum diatur dan belum teratur (struktur organisasi, jabatan masing-masing anggota kelompok, pembagian kerja, dan peraturan), peran pemimpin masih dominan dalam memberikan pengarahan dan penugasan-penugasan kepada para pengikut.

Tahap storming ditandai oleh konflik di antara anggota kelompok. Meskipun kompetensi anggota kelompok meningkat, komitmen anggota untuk mendahulukan kepentingan kelompok relatif lemah. Hal ini disebabkan semua hal belum diatur dan belum teratur. Pemimpin masih banyak diharapkan untuk memberikan pengarahan dan penugasan kepada anggota kelompok.

Gaya kepemimpinan participating dibutuhkan pada tahap norming. Dalam tahap ini, hal-hal penting dalam organisasi sudah mulai dirumuskan dan diatur. Di sisi lain, kompetensi anggota kelompok yang semakin meningkat disertai dengan komitmen yang meningkat pula. Pemimpin mulai memberikan kesempatan kepada anggota kelompok untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, terutama keputusan operasional.

Pada tahap performing, struktur kelompok dan proses dalam kelompok sudah teratur. Kompetensi dan komitmen anggota kelompok dalam kondisi terbaik. Pengarahan dan penugasan dari pimpinan masih dibutuhkan, tetapi pemimpin lebih banyak memberikan pendelegasian kepada anggota kelompok. Kehadiran seorang pemimpin adalah memberikan dukungan dan mendorong agar kelompok mampu dan mau secara mandiri untuk berprestasi dan selalu mengadakan perbaikan secara berkesinambungan.

Tampak Siring, 24 Februari 2012

 
Leave a comment

Posted by on May 28, 2012 in Management

 

Group and Team Performance

Para ahli di bidang manajemen tertarik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja kelompok (group performance). Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi group performance adalah organizational context, group structure, group process, dan group development stages.

Dalam bukunya yang berjudul “Fundamental Management”, Robert N. Lussier (1986) menjelaskan hubungan antara group performance dengan organizational context, group structure, group process, dan group development stage sebagaimana ditunjukkan dalam model berikut :

Group Performance Model courtesy of Robert N. Lussier

Organizational Context

Setiap organisasi memiliki konteks yang berbeda-beda. Konteks sebuah organisasi terdiri dari lingkungan sosial organisasi berada, misi dan visi, strategi, budaya, struktur, sistem dan proses. Menurut Model 7S McKinsey, efekvitas pengelolaan suatu organisasi dipengaruhi oleh tingkat keselarasan dari 7 S, sebagaimana ditunjukkan dalam model berikut :

7 S Model by McKinsey

Menurut Lussier, group performance dipengaruhi oleh organizational context. Di tingkat eksternal, kemampuan sebuah organisasi memahami dan beradaptasi dengan lingkungan eksternal  berpengaruh terhadap group performance. Di tingkat internal, group performance dipengaruhi oleh kejelasan misi dan visi, strategi perusahaan, budaya perusahaan, struktur organisasi, sistem dan proses.

Group Structure

Struktur kelompok (group structure) ditandai oleh jenis, ukuran, komposisi, kepemimpinan dan tujuan kelompok. Group performance dipengaruhi oleh struktur kelompok. Artinya, group performance dipengaruhi oleh faktor-faktor jenis kelompok (formal dan informal), ukuran kelompok (besar, sedang, kecil), komposisi anggota kelompok (heterogen atau homogen), kepemimpinan (gaya dan model), dan tujuan kelompok.

Group Process

Group process ditandai oleh status, roles, norms, cohesiveness, decision making, dan conflict resolution. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi tingkat kinerja dan prestasi dari kelompok.

Kejelasan status (kedudukan / jabatan anggota kelompok), peranan yang dituntut dan job description, keberadaan aturan yang jelas, memberikan kontribusi terhadap sebuah kelompok untuk berprestasi.

Demikian juga dengan kemampuan sebuah kelompok membangun group cohesiveness, pengambilan keputusan yang baik, dan kemampuan mengatasi konflik di antara anggota, berpengaruh terhadap kinerja dan prestasi sebuah kelompok.

Group Development Stage

Pada tahun 1965, DR. Bruce Tuckman memperkenalkan teori tentang perkembangan kelompok. Menurut Tuckman, setiap kelompok berkembang dari tahap forming, storming, norming, dan performing. Pada tahun 1965 Tuckman menambahkan satu tahap adjouning. Tahap adjouning lebih sesuai untuk kelompok yang bersifat sementara. Selanjutnya,  Group Development Stage Model versi pertama yang dikembangkan Tuckman lebih diterima secara luas.

Istilah lain yang digunakan untuk tahap-tahap perkembangan kelompok adalah orientation (forming), dissatisfaction (storming), resolution (norming), production (performing), dan termination (adjourning). Secara prinsip, tidak ada perbedaan substansi dari kedua istilah tersebut. Secara praktek, istilah yang digunakan oleh Tuckman lebih diterima secara luas.

Dalam konteks kinerja dan prestasi kelompok, seiring dengan pertambahan waktu, kinerja kelompok akan bertambah lebih baik. Artinya, perkembangan kinerja dan prestasi kelompok akan dipengaruhi oleh tahap-tahap perkembangan kelompok.

Meskipun demikian, kinerja dan prestasi kelompok dalam tahap storming cenderung menurun. Konflik di antara anggota kelompok, struktur kelompok dan proses dalam kelompok yang masih belum baik, mengakibatkan kinerja dan prestasi kelompok menurun drastis.

Kemudian, pada tahap norming dan performing, di mana anggota kelompok sudah mampu menyelesaikan konflik di antara mereka, dan didukung oleh struktur kelompok dan proses kelompok yang bertambah baik, maka kinerja dan prestasi kelompok pun meningkat.

***

Pengaruh organizational context, group structure, group process dan group development stages terhadap kinerja dan prestasi sebuah kelompok bersifat dinamis. Pada suatu saat, mungkin group structure lebih berpengaruh dibandingkan faktor-faktor lain.

Hal yang lebih penting adalah memahami bagaimana pengaruh dari masing-masing faktor tersebut terhadap group performance dan memperbaikinya sehingga group performance dapat dipertahankan, atau bahkan ditingkatkan ke tingkat yang lebih baik.

Secara teoritis dan praktek, studi dan aplikasi keempat faktor tersebut terhadap group performance memiliki ruang lingkup yang luas dan kompleks. Lazimnya, studi dan aplikasi yang dilakukan adalah fokus pada salah satu faktor (misalnya struktur kelompok), bahkan salah satu bagian dari struktur kelompok (misalnya hubungan atau pengaruh  group cohesiveness terhadap group performance).

Tampak Siring,  19 Februari 2012

 
Leave a comment

Posted by on May 1, 2012 in Management

 

Response Time

Dari sejak dahulu sampai sekarang, moto olimpiade tidak pernah berubah, yaitu : citius, altius, dan fortius (dalam bahasa Inggris : “Faster, Higher, Stronger”). Dalam setiap olimpiade, para atlit dituntut untuk lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat. Aturan mainnya jelas : siapa yang mencetak prestasi dan rekor lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat, maka ia yang akan menjadi juara.

Dalam berbagai literatur balanced scorecard, Robert S. Kaplan dan David P. Norton selalu menyebutkan 8 value proposition, yaitu price, quality, availability, selection, functionality, service, partnership, dan brand. Salah satu unsur dalam availability (ketersediaan) adalah speed. Tidak ada gunanya produk barang dan jasa tersedia di hadapan pelanggan tanpa disertai dengan speed. Tidak ada gunanya kecanggihan teknologi dari suatu produk tetapi terlambat hadir di pasar.

Complaint handling dan customer handling tidak hanya berhubungan dengan sopan santun bertutur kata dalam proses menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh pelanggan. Tidak ada gunanya sopan santun dan berbagai atribut kualitas pelayanan lainnya dalam menghadapi pelanggan, tanpa disertai kecepatan pelayanan.

Di sebuah restoran saya pernah “menggerutu” kepada pramusaji. “Gara-gara”nya adalah speed yang berubah. Semula, untuk setiap pemesanan makanan yang harus dimasak (belum siap saji), standar waktu tunggu adalah 15 menit. Bagi saya, perubahan standar waktu tunggu menjadi 17 menit adalah degradasi mutu pelayanan. Bukankah time is money?.

Di era Kapolri Jenderal (Pol.) Drs. Dibyo Widodo pernah ada Unit Reaksi Cepat (“URC”).  Saya tidak tahu mengapa saat ini tidak ada lagi URC. Apakah saat ini semua kepolisian sudah bekerja cepat dalam melayani dan melindungi warga masyarakat (sehingga tidak diperlukan lagi URC)? Entahlah, yang penting, ada kesadaran bahwa kecepatan adalah value proposition yang selalu dituntut oleh pelanggan.

Antara Harapan dan Fakta

Meskipun semua orang mengetahui bahwa response time sangat penting, kecepatan memberikan tanggapan sering menjadi masalah besar di berbagai organisasi. Kehadiran teknologi seringkali tidak menjadi jaminan bahwa response time akan lebih cepat.

Response time yang lambat tidak selalu disebabkan oleh teknologi. Tetapi andaikan teknologi berperan terhadap response time yang lambat, implementasi teknologi dalam organisasi seringkali tidak menyelesaikan keterlambatan response time.

Proses dan manusia seringkali lebih berperan besar dalam keterlambatan response time. Birokrasi yang “gemuk” menyebabkan proses menjadi semakin berbelit-belit dan bertele-tele. Kondisi birokrasi yang sangat buruk seringkali diperparah oleh sikap mental manusia yang mengharapkan uang pelicin.

Man behind the gun juga perlu diperhatikan, tidak hanya kompetensi, tetapi terutama sikap mental. Dalam kesempatan berbagi pengalaman bersama mitra kerja, saya seringkali bercerita tentang pilot pesawat tempur. Andaikan kepada para pilot pesawat tempur diberikan pesawat tempur yang memiliki teknologi yang sama, maka faktor yang berperan besar terhadap pertempuran udara adalah manusia dan proses.

Lockheed SR-71 Black Bird” courtesy of http://www.fanpop.com

Bayangkan, jika pilot pesawat tempur negara “A” memiliki kesiapan diri dan kecepatan kerja yang lebih baik dari pilot pesawat tempur negara “B”. Misalnya, dari tidur terlelap, kemudian dibangunkan, mempersiapkan diri, sampai dengan take-off, pilot pesawat tempur negara “A”  mampu mencatat waktu 15 menit, sedangkan pilot pesawat tempur negara “B” 17 menit. Reponse time pilot yang lambat akan menjadikan keunggulan teknis dan kecepatan supersonik menjadi sia-sia belaka.

3 Jenis Latensi

Ada 3 jenis latensi yang mengakibatkan response time yang lambat, yaitu capture latency (data latency), analysis latency, dan decision latency. Seperti diperlihatkan dalam gambar di bawah ini, setiap latensi mengakibatkan keterlambatan dalam proses berikutnya. Setiap latensi selalu merupakan pemborosan waktu. Setiap keterlambatan waktu dan proses selalu menurunkan nilai.

Dalam artikelnya yang berjudul “Right-Time Business Intelligence : Optimizing The Business Decision Cycle”, Judith R. Davis (2006 : 7-9) mendefinisikan latency sebagai berikut :

  • “Data latency is the time it takes to collect raw data, prepare it for analysis, and store it where it can be accessed and analyzed. Important functionality here includes data profiling, extraction, validation, cleansing, trransformation, integration, delivery, and loading”
  • “Analysis latency is the time it takes to access the data, analyze the data, turn the data into information, apply business/ exception rules, and generate alerts if appropriate. Analysis may be done by a user or an application.”
  • “Decision latency is the time it takes to receive an alert, review the analysis, decide what action is required, if any, based on knowledge of the business, and take action.

Manusia, proses dan teknologi dapat memberikan penyebab dari ketiga jenis latensi. Karena itu, tindakan perbaikan dan perubahan yang harus dilakukan idealnya komprehensif mencakup pelatihan dan pengembangan SDM, perbaikan proses, dan implementasi teknologi yang tepat.

Tujuan dari perbaikan di bidang SDM, proses, dan teknologi adalah mengurangi waktu tanggapan dalam setiap proses bisnis. Mungkin, ketiga jenis latensi masih tetap eksis. Meskipun demikian, keterlambatan waktu dalam setiap latensi dapat diminimalisir sehingga response time bisa lebih cepat. Peningkatan nilai dapat dicapai dengan mempercepat response time (lihat gambar di bawah).

Perbaikan Proses.

Jika sebuah organisasi – berorientasi laba dan nirlaba – disederhanakan menjadi “people-process-technology”, maka idealnya perbaikan response time dilakukan melalui perbaikan di bidang SDM, proses, dan teknologi.

Perbaikan proses seringkali menjadi pilihan yang lebih realistis. Perbaikan manusia (melalui pelatihan dan pengembangan) membutuhkan waktu relatif lama. Sedangkan penggunaan teknologi tertentu membutuhkan tambahan biaya yang sulit diatasi oleh organisasi.

Definisi proses adalahA set of Activities and Tasks, which are performed by Participants in Roles, organized in a particular Sequence, directed and measured by Time and Events / Triggers(Grant Thornton).

Penjelasan lengkap tentang proses dan bisnis proses diuraikan dalam buku Stephen Haag, Paige Baltzan dan Amy Philips (2008) yang berjudul “Business Driven Technology” sebagai berikut :

•          The process steps are the activities the customer and store personnel do to complete the transaction.

•          Business process – a standardized set of activities that accomplish a specific task, such as processing a customer’s order.

•          Business processes transform a set of inputs into a set of outputs (goods or services) for another person or process by using people and tools.

Sedangkan tujuan dari perbaikan proses bisnis menurut Haag et.al adalah sebagai berikut : “Business process improvement will, at a minimum, double the gains of a project by streamlining outdated practices, enhancing efficiency, promoting compliance and standardization, and making an organization more agile”.

Jangan membayangkan perbaikan bisnis proses adalah kegiatan yang rumit. KISS : Keep it simple and short. “Benang merah” dari perbaikan proses adalah menghilangkan berbagai waste. Dalam konteks proses bisnis sebagai penciptaan nilai tambah, maka untuk setiap aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah, ditiadakan. Berikut contoh dari perbaikan proses bisnis pemesanan burger.

Flow Chart courtesy of Haag, Baltzan, and Phillips

Intinya, gambarkan proses bisnis saat ini (“as-is process”). Analisa setiap aktivitas, perhatikan setiap aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah. Gabungkan beberapa aktivitas (jika mungkin), atau hilangkan aktivitas yang tidak perlu. Akhirnya, gambarkan kembali proses bisnis baru (“to-be process”).

Menegaskan kembali tujuan dari perbaikan proses bisnis, pastikan bahwa dalam proses bisnis baru (“to-be process”) telah dilaksanakan “streamlining outdated practices, dan menjanjikan “enhancing efficiency, promoting compliance and standardization, and making an organization more agile”.

Tampak Siring, 12 Februari 2012

 
Comments Off on Response Time

Posted by on March 29, 2012 in Management

 

Situational Leadership

Mengapa Michael H. Hart – dalam bukunya yang  berjudul “100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh di Dunia” –  menempatkan Rasulullah Muhammad SAW sebagai tokoh nomor 1 yang paling berpengaruh di dunia? Apa saja yang telah dilakukan oleh Rasulullah Muhammad SAW sehingga ia layak dinobatkan sebagai tokoh nomor 1 di dunia yang paling berpengaruh?

Berikut, sebagian dari prestasi yang telah dicapai  Rasulullah Muhammad SAW yang saya kutip dari kata pengantar  buku “The Art of Leadership” :

“Dalam waktu yang sangat singkat 23 tahun (Periode Makkah selama 13 tahun dan periode Madinah selama 10 tahun), beliau sukses mengubah masyarakat jahiliyah menjadi sosok-sosok yang cerdas secara spiritual, dari masyarakat paganisme yang primitif menjadi komunitas bertauhid yang madani. Dari masyarakat yang berperangai kasar menjadi masyarakat yang santun. Dari masyarakat yang tidak dikenal oleh peradaban menjadi umat yang memimpin peradaban. Dari masyarakat yang disebut asyaddu kufran wa nifafan menjadi kuntum khaira ummatin.” (DR. Muhammad Fathi, “The Art of Leadership in Islam”, 2009 : 7)

Apa rahasia di balik sukses itu? Masih dibuku yang sama, jawabannya adalah gaya kepemimpinan (garis miring dan cetak tebal dari penulis) Rasulullah Muhammad SAW. Bagaimana gaya kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW?

Masih di buku yang sama dijelaskan bahwa, gaya kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW ditandai oleh 3 hal. Pertama, beliau bisa cocok dengan semua pribadi. Kedua, beliau sangat memahami potensi-potensi pribadi bawahannya (baca : sahabatnya); dan ketiga, keteladanan beliau. Keteladanan adalah kesatuan ucapan dan perbuatan. Perbuatan adalah perintah yang lebih kuat dari hanya sekedar kata-kata (DR. Muhammad Fathi, “The Art of Leadership in Islam”, 2009, hlm. 8-9)

Dalam literatur dan teori kepemimpinan, gaya kepemimpinan Rasulullah Muhammad SAW disebut Situational Leadership (teori ini digagas oleh Paul R. Hersey dan Ken Blanchard). Definisi dari Situational Leadership adalah “a leadership contingency theory that focuses on followers’ maturity / readiness”. Inti dari teori Situational Leadership adalah bahwa,  gaya kepemimpinan seorang pemimpin akan berbeda-beda, tergantung dari tingkat kesiapan para pengikutnya.

4 Komponen Kepemimpinan

Dalam setiap kepemimpinan selalu terdapat 4 komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, yaitu pemimpin, bawahan, situasi, dan komunikasi. Proses dan keberhasilan kepemimpinan dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan. Sedangkan gaya kepemimpinan ditentukan oleh situasi bawahan.

Yang dimaksud dengan situasi para pengikut adalah kesiapan dari para pengikut. Tingkat kesiapan pengikut ditentukan oleh faktor kemampuan (kematangan) dan kemauan (motivasi). Idealnya, gaya kepemimpinan berbeda-beda dan disesuaikan dengan tingkat kesiapan para pengikutnya.

 

4 Situasi Bawahan (Follower Readiness)

Tingkat kesiapan pengikut ditandai oleh dua karakteristik sebagai berikut : (i.) the ability and willingness for directing their own behavior; dan (ii.) the extent to which people have and willingness to accomplish a specific task.”

Berdasarkan kriteria mampu dan mau, maka diperoleh empat tingkat kesiapan para pengikut sebagai berikut :

Follower Readiness Matrix

Readiness 1 (Kesiapan Tingkat 1) menunjukkan bahwa, bawahan tidak mampu dan tidak mau mengambil tanggung jawab untuk melakukan suatu tugas. Pada tingkat ini, bawahan tidak memiliki kompetensi dan tidak percaya diri.

Readiness 2 menunjukkan bawahan tidak mampu melakukan suatu tugas, tetapi ia sudah memiliki kemauan. Motivasi yang kuat tidak didukung oleh pengetahuan dan keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas.

Readiness 3 menunjukkan situasi di mana bawahan memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas. Tetapi bawahan tidak mau melaksanakan tugas-tugas yang diberikan oleh pemimpinnya.

Readiness 4 menunjukkan bahwa bawahan telah memiliki pengetahuan dan keterampilan kerja yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas-tugas, disertai dengan kemauan yang kuat untuk melaksanakannya.

4 Gaya Kepemimpinan

Tingkat kesiapan bawahan yang berbeda menuntut gaya kepemimpinan yang berbeda pula. Prinsip “One Size Fits All” tidak berlaku dalam gaya kepemimpinan, terutama menghadapi tingkat kesiapan bawahan yang  berbeda.

Menurut Hersey dan Blanchard, ada 4 gaya kepemimpinan yang sesuai dengan masing-masing tingkat kesiapan bawahan, yaitu directing, coaching, supporting, dan delegating. Setiap pemimpin harus mengetahui dan mahir menggunakan gaya kepemimpinan yang berbeda, sesuai dengan tingkat kesiapan bawahan.

Situational Leadership Model by Paul Hersey and Ken Blanchard

Gaya kepemimpinan directing (kadang-kadang disebut “telling”) sesuai dengan bawahan yang memiliki tingkat kesiapan 1. Dalam gaya kepemimpinan directing, pemimpin bertindak “hyperactive” memberikan tugas-tugas kepada bawahan dan mengawasinya.  Pemimpin bertindak “the King can do no wrong” dan menginstruksikan bawahannya apa, bagaimana, kapan dan di mana tugas-tugas harus dilakukan.

Gaya kepemimpinan coaching (kadang-kadang disebut “selling”) untuk menghadapi bawahan dengan tingkat kesiapan 2.  Gaya kepemimpinan coaching ditandai oleh pemberian tugas-tugas oleh atasan masih tinggi, tetapi disertai dengan kualitas hubungan lebih baik (atas memberikan dukungan, tidak sekedar sebagai pengawas).

Gaya kepemimpinan participating ditandai oleh inisiatif dari bawahan mulai muncul dan instruksi dari atasan tidak lagi dominan. Peran atasan adalah menyeimbankan antara komunikasi dan memberikan dukungan kepada bawahan. Atasan juga memberikan dukungan yang kondusif kepada bawahan mereka, misalnya melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.

Gaya kepemimpinan delegating, bawahan lebih proaktiv dalam melaksanakan tugas-tugas mereka. Komunikasi dan gagasan ditandai oleh bottom up model, dari bawahan kepada atasan. Dukungan penuh oleh atas diberikan dalam bentuk pendelegasian tugas dan pengambilan keputusan dalam batas-batas tertentu.

Situational Leadership Dalam Kehidupan Sehari-hari

Disadari atau tidak, situational leadership telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antara orang tua dengan anak-anak dan gaya kepemimpinan dalam sebuah keluarga, sengaja atau tidak sengaja, seringkali didasarkan atas situasional leadership.

Apakah sama gaya kepemimpinan orang tua terhadap anak-anak di usia berapapun? Tentu tidak. Kepercayaan terhadap anak-anak akan sejalan dengan tingkat perkembangan psikologis dan sosial anak-anak.

Semakin banyak pengetahuan anak-anak tentang kehidupan sosial (di rumah, di sekolah, maupun di lingkungan sosial terdekat), biasanya ditandai oleh perkembangan kemandirian psikologis dan sosial anak-anak. Karena itu, semakin beranjak dewasa, kepercayaan orang tua kepada anak-anak akan semakin meningkat.

Pada saat masih balita sampai dengan lulus SD, gaya kepemimpinan orang tua adalah directing. Artinya, orang tua bertindak mengajarkan kepada  anak-anak bagaimana melakukan sesuatu, mengantar dan menjemput anak-anak, dan lain sebagainya. Orang tua lebih banyak memberikan instruksi, pengawasan, dan cenderung protektif.

Pada saat anak mencapai usia SLTP, gaya kepempinan orang tua adalah coaching. Instruksi dan pengawasan orang tua masih ketat, tetapi si anak mulai diajarkan untuk bertindak proaktif dan mampu mandiri untuk mengerjakan sehari-hari (mandi, membersihkan tempat tidur dan kamar, dan lain sebagainya). Orang tua masih melakukan antar jemput anak-anak ke sekolah, tetapi sesekali anak dibolehkan pulang sendiri bersama teman-temannya.

Di jenjang pendidikan SLTA anak-anak mulai belajar mandiri secara psikologis dan sosial. Gaya kepemimpinan orang tua pun berubah menjadi participating. Orang tua mulai melatih anak-anak dalam proses pengambilan keputusan. Frekuensi instruksi sangat sedikit, orang tua lebih banyak melalukan pendampingan. Kepercayaan kepada anak-anak semakin meningkat. Anak-anak mulai diberikan tanggung jawab yang lebih besar.

Gaya kepemimpinan delegating diterapkan pada saat anak-anak sudah kuliah. Instruksi dan pemberian contoh sudah sangat berkurang. Anak-anak tidak sekedar dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Tetapi anak-anak  bahkan sudah memiliki tanggung jawab untuk mengambil keputusan sendiri.

Sebagai pembanding untuk memahami situational leadership adalah  gaya kepemimpinan yang pernah diajarkan oleh Ki Hajar Dewantoro. Perkembangan kematangan psikologis dan sosial anak-anak dapat merubah gaya kepemimpinan anak-anak. Mulai dari ing ngarso sing tulodo, dilanjutkan dengan ing madya mangun karsa, dan terakhir tut wuri handayani.

Jika di usia balita sampai dengan SLTP orang tua lebih banyak melalukan ing ngarso sing tulada, maka di usia SLTA orang tua mulai menerapkan gaya kepimpinan ing madya mangun karsa. Sedangkan pada saat anak-anak sudah mulai kuliah dan matang secara psikologis dan sosial, orang tua mulai mengedapankan pendekatan tut wuri handayani.

Tampak Siring, 25 Februari 2012

 
Leave a comment

Posted by on March 27, 2012 in Management

 

Football Stakeholders

Dalam stratejik manajemen, setiap organisasi – apapun bentuk dan tujuannya – disarankan untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang berkepentingan (atau disebut juga para pemangku kepentingan / stakeholders) terhadap organisasi.

Pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi terdiri dari internal stakeholders (antara lain : pemilik saham, karyawan, serikat pekerja) dan external stakehoders (antara lain : pelanggan, pemasok, pemerintah, kompetitor).

Saling ketergantungan antara organisasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi adalah suatu keadaan yang tidak dapat dihindarkan. Meskipun demikian, organisasi dapat mengelola hubungan dengan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap organisasi sehingga saling ketergantungan itu memberikan kemanfaatan positif kepada semua pihak.

Hubungan dan pengaruh para pemangku kepentingan terhadap organisasi terjadi melalui kepentingan (interest) dan kekuasaan (power) mereka terhadap organisasi. Setiap organisasi harus mengetahui apa kepentingan dan bagaimana kekuatan kekuasaan setiap pemangku kepentingan terhadap organisasi.

Mengelola para pemangku kepentingan tidak sesederhana yang dibayangkan. Mengapa? Adah tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu :

  • pertama, kepentingan dari setiap pemangku kepentingan berbeda-beda;
  • kedua, kekuatan kekuasaan dari setiap pemangku kepentingan juga berbeda-beda. Artinya, kekuasaan tidak berpusat pada satu stakeholder saja, melainkan terdistribusi kepada masing-masing stakeholder; dan
  • ketiga, dari waktu ke waktu, terjadi perubahan yang signifikan dari interest dan power setiap pemangku kepentingan.

Pemerintah misalnya, memiliki kekuasaan dalam bentuk memberikan perijinan. Dalam masyarakat dan bangsa yang masih ditandai oleh KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), yang masih kuat, power abuse adalah hal yang “biasa”. Akibatnya, kekuasaan pemerintah dalam hal memberikan perijinan dapat menggagalkan semua rencana yang telah disusun.

Demikian pula dengan pemasok yang kekuasaan atau kekuatannya semakin “menakutkan” jika barang dan jasa yang mereka pasok relatif langka dan sulit untuk memperoleh produk barang dan jasa substitusi.

Kekuatan relatif organisasi terhadap pemangku kepentingan tidak selalu lemah. Terhadap pelanggan misalnya, suatu organisasi dapat memiliki kekuatan yang relatif lebih baik, apalagi jika kondisinya pelanggan tidak dapat memperoleh produk barang dan jasa substitusi yang dibutuhkannya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, semakin beragam kepentingan dan semakin terdistribusi kekuasaan di tangan masing-masing pemangku kepentingan,  maka semakin tinggi kompleksitas dari stakeholder management. Meskipun demikian, secara umum, pola kekuatan para pemangku kepentingan dapat diidentifikasi melalui stakeholder matrix.

Stakeholder Analysis

Berdasarkan faktor interest dan power, maka diperoleh stakeholder matrix sebagai berikut :

Image courtesy of http://www.mindtools.com

Kuadran Pertama menujukkan pemangku kepentingan yang memiliki interest dan power lemah. Terhadap pemangku kepentingan seperti ini sebuah organisasi dapat sedikit “santai” dan melakukan usaha yang minimal, sekedar bersifat memantau.

Kuadran Kedua menunjukkan pemangku kepentingan yang memiliki interest tinggi, tetapi power relatif lemah. Terhadap pemangku kepentingan seperti ini sebuah organisasi seyogyanya lebih aktif membina hubungan dan memberikan informasi kepada pemangku kepentingan.

Kuadran Ketiga menujukkan pemangku kepentingan yang memiliki interest rendah, tetapi power relatif kuat. Organisasi tidak dapat mengabaikan pemangku yang memiliki interest rendah, sebab power mereka yang relatif kuat dapat menjadi “bumerang” bagi organisasi. Karena itu, organisasi harus melakukan berbagai aktivitas yang dapat membuat para pemangku kepentingan puas.

Kuadran Keempat adalah pemangku kepentingan yang memiliki interest tinggi dan power kuat. Menghadapi para pemangku kepentingan seperti ini, organisasi harus memberikan perhatian dan usaha yang lebih intensif untuk memuaskan kepentingan stakeholders. Di samping itu, organisasi perlu melakukan berbagai pendekatan yang dapat melemahkan power dari para pemangku kepentingan, minimal tidak digunakan semena-mena digunakan.

Setelah mengetahui interest dan power dari setiap pemangku kepentingan, selanjutnya organisasi dapat membuat stakeholder map (peta pemangku kepentingan). Masing-masing stakeholder ditempatkan dalam satu kuadran dalam stakeholder map, sesuai dengan tingkat interest dan power mereka.  Stakeholder map selanjutnya dapat digunakan sebagai pedoman bagi organisasi untuk “menggarap” (baca : menyusun program) masing-masing pemangku kepentingan berdasarkan skala prioritas.

Satu hal yang perlu dipahami adalah stakeholder map tidak bersifat statis. Karena interest dan power masing-masing pemangku kepentingan dari waktu ke waktu dapat berubah, maka organisasi harus memantau perubahan tersebut dan menyesuaikan pendekatan kepada para pemangku kepentingan sesuai kondisi terakhir.

Football Stakeholders

Dalam pengertian yang sederhana, olahraga sepakbola tidak lebih dari permainan menggiring, menendang, dan memasukkan bola ke gawang kesebelasan lawan. Sebagai olahraga yang dipertandingkan, dan terutama sebagai profesi, olahraga sepakbola tidak lagi dapat dipahami sebagaimana pengertiannya yang sederhana.

Banyak pihak-pihak yang berkepentingan terhadap sepakbola. Sepakbola tidak lagi dipandang sebagai urusan klub sepakbola dan tim nasional sepakbola, melainkan sebagai profesi dan industri yang menghidupi banyak orang. Bahkan, bagaimanapun terkontaminasinya sepakbola sebagai sebuah industri, sepakbola masih dipandang sebagai salah satu simbol harga diri individu, kelompok, klub, masyarakat, bangsa dan negara.

Siapakah pihak-pihak yang berkepentingan terhadap sepakbola? Gambar berikut ini mengidentifikasi football stakeholders  :

Image courtesy of Adhyaksa Wisanggeni

Dapat dibayangkan bagaimana beragam interest dan power dari masing-masing pemangku kepentingan. Dalam konteks stakeholders management, dapat dibayangkan bagaimana kompleksitas mengurus sebuah tim nasional, bahkan sebuah klub

Karena itu, jika ada seorang pelatih seperti Sir Alex Ferguson yang mampu bertahan selama 25 tahun menjadi pelatih FC Manchester United, pasti ia bukan orang biasa. Karena itu, jika ada sebuah klub sepakbola profesional yang selama bertahun-tahun konsisten menjuarai sebuah kompetisi liga sepakbola di sebuah negara, pasti klub itu merupakan klub yang luar biasa dan menjadi dambaan sebagian besar pesepakbola. Mengapa demikian?

Interest dan power dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap sepakbola sangat beragam dan kekuatannya tersebar merata. Dari tahun ke tahun, interest dan power pihak-pihak yang berkepentingan terhadap sepakbola semakin meningkat, sulit dikelola dan sulit dikendalikan.

Salah satu “korban” dari meningkatnya interest dan power sponsor – sebagai pihak yang memberikan sumbangan dana – adalah FC Barcelona. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana FC Barcelona membanggakan diri menolak semua logo di bagian depan kostum mereka, meskipun sponsor adalah perusahaan-perusahaan multinasional  kelas kakap sudah menggelontorkan dana melimpah. FC Barcelona hanya bersedia memasang logo Unesco di bagian depan kostum, meskipun Unesco tidak membayar sepersen pun uang kepada FC Barcelona.

Sejak musim kompetisi 2011/2012, konsistensi FC Barcelona selama 111 tahun menolak logo sponsor, akhirnya “bertekuk lutut” setelah Qatar Foundation menggelontorkan dana sejumlah 150 juta Euro untuk lima tahun ke depan. Kini, logo Qatar Foundation “jumawa” bertengger di bagian depan kostum resmi FC Barcelona.

Image courtesy of Getty Image

Bukan hanya prinsip yang dipertaruhkan di sepakbola, melainkan juga nyawa. Mendiang Andreas Escobar adalah salah satu pesepakbola yang terpaksa kehilangan nyawanya setelah ia “mempersembahkan” gol bunuh diri dan timnas Kolumbia tampil “kedodoran” di ajang Piala Dunia 1994, di Amerika Serikat.

Di Italia, berbagai kelompok dalam masyarakat bertindak sebagai “pressure group” yang menebarkan teror. Dalam waktu enam bulan (Juli – Desember 2011), sudah tiga keluarga pemain FC Napoli (Edison Cavani, Marek Hamsik dan Ezequiel Lavezzi) yang “dikerjain” oleh geng Mafia. Campur tangan dan pengaruh external stakeholders terhadap FC Napoli diberitakan Kompas (14 Januari 2012) sebagai berikut :

  • “Beberapa pemain Napoli dan keluarganya telah menjadi korban kejahatan, yang diyakini dilakukan geng Camorra, yang ”menguasai” kota Naples dan sekitarnya. Penyerang Napoli, Edinson Cavani, menjadi korban paling akhir. Rumahnya dimasuki sekelompok penjahat dan diobrak-abrik, saat dia beraktivitas bersama tim nasional Uruguay.
  • Akademisi dan penulis Biagio de Giovanni kepada Guardian mengatakan, ”Tampaknya mafia menjadikan pemain Napoli sebagai target, untuk meminta bagian dari tim saat mereka bangkit.”
  • Penjualan tiket secara online oleh Napoli, menurut Corriere della Sera, diyakini telah membuat Camorra kesulitan menjual tiket di jalan-jalan sehingga penghasilan mereka terpangkas.”

Meskipun “bobotoh” (baca : fans / pendukung sebuah klub/timnas sepakbola) dan penonton sepakbola semakin dimanja oleh berbagai tayangan langsung pertandingan sepakbola, keadaan itu tidak serta merta menggembirakan klub, pelatih, dan pesepakbola. Kekuasaan sponsor tidak hanya dalam hak siar, tetapi sudah merambah ke pengaturan jadual pertandingan. Arsene Wenger, pelatih klub FC Arsenal, mengeluh dengan organisasi sepakbola yang sudah terang-terangan menjual jiwa sepakbola.

Bagaimana dengan investor sebagai pemilik klub? Tidak semua investor memiliki hobby dan mengerti sepakbola. Satu hal pasti yang dimengerti oleh investor adalah return of investment dan klub yang digadang-gadangnya menjadi juara liga kompetisi sepakbola di negara setempat, dan Liga Champion untuk tingkat Eropa.

Jika target yang ditetapkan tidak tercapai, investor atau pemilik klub sepakbola profesional sangat gampang memecat pelatih. Dalam satu musim kompetisi, jumlah pelatih sepakbola di Liga Inggris, Liga Spanyol, Bundesliga (Jerman), Liga Calcio (Italia). Louis van Gaal dipecat oleh manajemen Bayern Muenchen sebelum kontraknya berakhir. Meskipun mempersembahkan juara English Premier League 2 kali berturut-turut kepada FC Chelsea, Abramovic tetap memecat Jose Mourinho karena gagal mempersembahkan Piala Champion.

***

Kompleksitas dari stakeholder management di sebuah klub semakin menegaskan bahwa stakeholders management memang tidak hanya diperlukan oleh setiap organisasi sepakbola, melainkan semua organisasi berorientasi laba dan nir-laba.

Meminjam perubahan dari dependent, independent dan interdependent Stephen R. Covey, sebuah organisasi seyogyanya bukan dependent dan independent. Fakta bahwa ada pihak-pihak yang berkepentingan terhadap sebuah organisasi – dan organisasi tidak dapat tumbuh dan berkembang tanpa kehadiran para pemangku kepentingan – keadaan yang seharusnya diwujudkan adalah interdependensi yang saling menguntungkan.

Tampak Siring, 26 Februari 2012

 
Leave a comment

Posted by on February 28, 2012 in Management

 

Ban Berjalan

Apakah anda sudah pernah menonton film Charlie Chaplin yang berjudul “Modern Times”? Dalam film tersebut ditunjukkan proses kerja dan kondisi kerja di pabrik. Faktor-faktor produksi di zaman industrialisasi adalah modal, manusia, dan tanah (termasuk bangunan dan mesin-mesin produksi). Tetapi, sejatinya,  yang menjadi panglima dalam proses produksi adalah mesin-mesin produksi.

Manusia harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan proses kerja, cara kerja, dan kecepatan kerja dari mesin-mesin produksi. Selama proses produksi, mesin-mesin produksi memiliki proses kerja, cara kerja, dan kecepatan kerja yang sudah diatur sedemikian rupa sehingga manusia tidak memiliki kesempatan untuk beristirahat, walaupun dalam waktu “sepersekian detik”.

Saat ini kita sudah masuk ke zaman Informasi. Bahkan, menurut Daniel H. Pink dalam bukunya A Whole New Mind, kita sudah berada di era Conceptual. Meskipun demikian, jenis-jenis pekerjaan yang ada di zaman pertanian dan industrialisasi, saat ini masih tetap ada.

Lessons Learned dari film “Modern Times” adalah bahwa, proses dan hasil kerja individu, regu, seksi, bagian, departemen, divisi, perusahaan masing-masing saling mempengaruhi. Hubungan saling ketergantungan dan saling mempengaruhi antar individu dan antar unit kerja pasti ada, tidak hanya eksklusif untuk jenis-jenis pekerjaan pabrik.

Proses kerja dan hasil kerja farmers, factory workers, knowledge workers, dan conceptual workers saling mempengaruhi dan terjadi saling ketergantungan.  Dalam tulisan ini akan dibahas 3 variabel yang menghubungkan pengaruh dan ketergantungan, yaitu : kecepatan kerja, kuantitas kerja, dan kualitas kerja.

Kecepatan Kerja

Kecepatan kerja memiliki pengaruh yang signifikan terhadap proses dan hasil kerja. Dalam beberapa cabang olahraga, kecepatan merupakan kunci dari keberhasilan. Lomba lari estafet, lomba renang estafet, dan terutama lomba balapan “jet darat” F1 sangat dipengaruhi oleh kecepatan.

Bahkan, dalam lomba balapan F1, proses perlombaan dan keberhasilan menjuarai seri lomba balap, dapat dipengaruhi oleh strategi pitstop. Itulah sebabnya, pada saat proses pitstop, team pitstop bekerja “kesetanan” agar proses pitstop selesai dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Ukuran kecepatan kerja dalam proses pitstop adalah detik. Keterlambatan dalam proses pitstop memiliki konsekuensi sangat besar dan signifikan terhadap kecepatan dan waktu tempuh seorang pembalap di arena balap.  Team Pitstop dari beberapa tim “langganan” juara mampu menyelesaikan pitstop antara 5 sampai dengan 10 detik saja. Sedangkan beberapa tim “penggembira” hanya mampu menyelesaikan pitstop di atas 10 detik.

Situasi dan kondisi kerja yang “ekstrem” dan sangat mengandalkan kecepatan kerja seperti dalam proses pitstop mungkin jarang sekali ditemukan di pekerjaan-pekerjaan kantoran, bahkan pekerjaan di pabrik. Tetapi, sudah pasti bahwa kecepatan kerja individual, regu kerja, seksi, bagian, departemen yang satu memiliki pengaruh terhadap kecepatan kerja pihak-pihak yang berkepentingan terhadap proses dan hasil kerja.

Kecepatan kerja sangat penting karena berhubungan dengan tenggat (deadline). Speed adalah salah satu value preposition yang menjadi unggulan perusahaan. Tidak ada gunanya kemampuan memproduksi barang dan jasa yang berkualitas dan dalam jumlah yang banyak, tetapi mengabaikan tenggat.

 

Kuantitas Kerja

Kuantias kerja atasan dan bawahan yang tidak sinkron dapat menimbulkan masalah. Sebagai contoh, jika seorang manajer dalam sehari mampu membuat 4 konsep surat penawaran, tetapi sekretaris hanya mampu mengetik 2 konsep surat saja, maka keadaan seperti itu menjadi masalah.

Masalah kuantitas kerja yang tidak sinkron juga dapat berakibat fatal terhadap regu kerja. Sebagai contoh, dalam tim pitstop terdapat beberapa anggota mekanik dan masing-masing telah memiliki job dan job description yang sangat jelas. Ada mekanik yang bertanggung jawab mengisi bahan bakar minyak, memasang ban, membersihkan atau memperbaiki mesin. Semua pekerjaan yang berbeda-beda tersebut harus selesai dalam waktu sekian detik (sesuai standar yang ditetapkan).

Jika dalam waktu 8 detik, mekanik yang bertanggung jawab memasang ban hanya mampu memasang 2 ban saja (dan untuk memasang 2 ban lagi membutuhkan waktu tambahan 8 detik lagi), maka kecepatan kerja dan kuantitas kerja mekanik ban tersebut menjadi masalah besar bagi tim mekanik lain, dan terutama pembalap.

Kuantitas kerja tidak selalu disebabkan oleh kecepatan kerja yang rendah, melainkan oleh berbagai faktor lain, antara lain kompetensi karyawan yang bersangkutan, metode kerja yang tidak tepat, peralatan kerja yang kurang mendukung, dan lain sebagainya.

Kualitas Kerja

Di cabang olahraga beregu – misalnya bulutangkis – hasil yang dicapai oleh anggota tim yang satu berpengaruh terhadap proses dan kualitas anggota tim yang lain. Sebagai contoh adalah pertandingan kejuaraan Piala  Thomas dan atau Piala Uber.

Pemain pertama yang diturunkan memiliki beban tanggung jawab yang sangat berat.  Wujud dari kualitas kerja adalah  dengan kemenangan atau kekalahan. Apapun hasil yang dicapai (menang atau kalah), memiliki pengaruh yang sangat besar kepada – terutama – pemain kedua dan anggota tim lainnya. Karena itu,  kewajiban untuk menang adalah mutlak.

Jika pemain pertama kalah, maka beban pemain kedua menjadi lebih berat. Pemain kedua yang diturunkan memiliki tugas untuk menyamakan skor, dan karena itu tidak boleh kalah. Sementara, tim lawan serasa “di atas angin” dan mendapat tambahan dan energi yang luar biasa dari kemenangan yang diraih oleh pemain pertama mereka.

Sebaliknya, jika pemain pertama menang, maka beban pemain kedua relatif lebih “ringan”. Meskipun pemain kedua juga harus menang, tetapi seandainya kalah, skor akan imbang. Situasi dan tantangan yang dihadapi oleh pemain kedua adalah (“seolah-olah”) masih boleh kalah. Dengan demikian, jika pemain kedua kalah, potensi dampak terhadap tim juga tidak seburuk jika pemain pertama sudah lebih dahulu kalah.

Dari Independent dan Dependent Menuju Interdependent

Dalam kehidupan sehari-hari dan di dunia pekerjaan, saling mempengaruhi dan saling ketergantungan antarmanusia adalah kenyataan yang lazim. Mungkin hampir tidak ada orang yang tidak mengetahui dan tidak memahami bahwa kecepatan kerja, kuantitas kerja, dan kualitas kerja seseorang akan mempengaruhi kecepatan kerja, kuantitas kerja, dan kualitas kerja orang lain.

Tetapi mengetahui dan memahami saja saling pengaruh dan saling ketergantungan tidak cukup untuk membangun kerja sama yang efisien, efektif, dan produktif. Tidak ada gunanya hanya mengetahui dan memahami saling ketergantungan dan saling pengaruh, tetapi tanpa disertai dengan kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari maupun di dunia keja.

Keberadaan job standard (berhubungan dengan proses kerja)  dan job performance standard (berhubungan dengan hasil kerja) menjadi mutlak. Acuan karyawan dalam hal kecepatan kerja, kuantitas kerja, dan kualitas kerja idealnya memang bukan benchmark terhadap si A, si B, si C, dan lain sebagainya,  melainkan mengacu pada job standard dan job performance standard.

Ironisnya, job standard dan job performance standard seringkali sulit ditemukan dalam perusahaan. Akibatnya, para karyawan yang mampu dan mau menunjukkan kecepatan kerja, kuantitas kerja dan kualitas kerja yang baik menjadi seolah-olah “sok rajin” dan “tidak toleran” terhadap karyawan lain. Sebaliknya, para karyawan yang tidak mampu dan tidak mampu menunjukkan kecepatan kerja, kuantitas kerja dan kualitas kerja yang buruk seolah-olah bukan orang yang bermasalah yang harus dibina.

Proses berpikir hulu dan hilir dapat membantu seseorang agar tidak menjadi “biang keladi” masalah dalam kerja sama di kehidupan sehari-hari dan dunia kerja. Mengetahui di mana posisi seseorang (hulu-tengah-hilir) dan menyadari tugas dan tanggung jawab masing-masing – dan menyadari akibat yang ditimbulkan jika tanggung jawab itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya – diharapkan dapat menumbuhkan kemampuan dan kemauan seseorang untuk mempraktekkan kesadaran tentang kecepatan kerja, kuantitas kerja dan kualitas kerja yang terbaik.

Setiap manusia, seyogyanya eksis, tumbuh, dan berkembang dari keadaan independent, dependent, dan kemudian interdependent.

Tampak Siring,  28 Januari 2012

 
Leave a comment

Posted by on February 15, 2012 in Management

 

The Challenge : Ability to Execute

  • “Leadership without the discipline of execution is incomplete and ineffective. Without the ability to execute all other attributes of leadership become hollow”. – Larry Bossidy Chairman, Honeywell International
  • #1 REASON WHY LEADERS FAIL? – 70% of strategic failures are due to poor execution of leadership.

 

  • FACTS :
  • Do people know what to do? 44% of employees say they don’t know their company’s highest priorities
  • Do they want to do it? Only 19% feel a strong sense of commitment to the company’s goals
  • Do they know how to do it?  9% believe their work has a strong link to their organizations top priorities
  • Do they have the discipline? People spend less than half their time (49%) on activities linked to the organization’s key priorities
  • Do they work together? Only 31% feel they can express themselves honestly and candidly at work

Source : Franklin Covey, Delivering Results as a Principle-Centered Leader, Execution: The Leadership Challenge of the 21st Century

 
Leave a comment

Posted by on February 2, 2012 in Management

 

Team Performance Curve

Saya setuju dengan “pembelaan diri”  Lionel Messi yang selalu dianggap sebagai “biang keladi”  atas kegagalan timnas sepakbola Argentina di ajang Piala Dunia dan Copa America. Menurut Messi, FC Barcelona tidak dapat dibandingkan dengan timnas Argentina.

Mengapa FC Barcelona menunjukkan prestasi di berbagai ajang kompetisi dan timnas Argentina “melempem”, jangan tanyakan kepada Messi. Mengapa Messi berprestasi luar biasa pada saat membela FC Barcelona dan mengapa Messi tidak mampu mengangkat prestasi timnas Argentina, juga jangan tanyakan kepada Messi.

Bagi Lionel Messi, FC Barcelona dan Timnas sepakbola Argentina adalah dua kesebelasan yang berbeda. Tidak hanya berbeda dalam hal prestasi yang telah diraih (baca : hasil / result), melainkan terutama dalam proses untuk mencapai prestasi. Messi mendeskripsikan perbedaan antara FC Barcelona dan timnas Argentina sebagai berikut :

(i.)   “Mereka yang mendukung Barca, atau mereka yang tak mendukung pun mengakuinya (Barca tim terbaik di dunia). Prestasi itu merupakan hasil dari kerja keras selama bertahun-tahun dengan pemain-pemain yang sama,”

(ii.)  “Di timnas Argentina, pada sisi lain, kami tak mampu meraih hasil yang kami inginkan. Ada banyak (pergantian) pelatih dan kami selalu memulai segala sesuatunya dari awal,” terang Messi.” (Sumber : http://www.bola.net; 27 Desember 2011)

Ada dua hal penting yang ditekankan oleh Messi, yaitu :

(i.)           “ada banyak (pergantian) pelatih dan kami selalu memulai segala sesuatunya dari awal”. Artinya, sebagai sebuah tim, timnas Argentina adalah sebuah tim yang baru dibentuk dan memiliki anggota yang selalu berganti-ganti, termasuk pelatih.

(ii.)          “prestasi itu merupakan hasil kerja keras selama bertahun-tahun dengan pemain-pemain yang sama”. Artinya, FC Barcelona bukan tim yang baru dibentuk. Saling pengertian dan kerja sama di antara anggota tim sudah berjalan baik dalam waktu relatif lama.

Untuk memahami “pembelaan diri” Messi, pembahasan tentang bagaimana sebuah team  terbentuk, tumbuh, berkembang dan berpretasi menjadi relevan. Demikian pula pemahaman tentang bagaimana sebuah tim mampu menunjukkan prestasi.

Group Development

Menurut Bruce Tuckman, setiap kelompok tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap forming, storming, norming, dan performing. Sebuah kelompok hampir mustahil tiba-tiba menunjukkan prestasi yang luar biasa.

Berikut penjelasan tentang group development yang saya kutip dari sumber http://www.practical-management-skills.com/  :

  • FORMING : When team members first come together, they are typically polite and spend a lot of time observing other members on the team. They are focused on their own agenda and there is no common goal at this stage. 

There is no clear process followed and team roles have not been identified. Members tend to feel unsure at this stage, typically looking for a lot of direction from the team

  • STORMING : As the team becomes more established, it’s members become more vocal. They compete with each other, keeping their own agendas to the forefront. There is a lot of conflict, both within the team and with external groups.

Members can get disillusioned at this stage, but it is productive and it is an essential part of teambuilding in the workplace. All issues and concerns are brought out in the open and this is important, as long as the conflict is constructive.

  • NORMING : Eventually a common goal is agreed, and a leader is chosen if this is not already decided. The roles of each team member are chosen, and they take on tasks that suit their skills and experience.

There is more constructive discussion and a direction is taken. Team members have a much better relationship with each other and an understanding of what is teamwork in the real sense.

  • PERFORMING : At the peak of a team’s life cycle, goals are being met through good working practices and good working relationships. Team members are motivated and the leadership is effective. There is still conflict from time to time, but this is of a constructive nature.

If a new member joins the team, or if a new task or project is given, then the team may move back to an earlier stage in its development.

Mengapa di tahun pertama kepelatihannya di  FC Real Madrid (2009/2010), Mourinho gagal mempersembahkan gelar juara La Liga Spanyol dan Liga Champions?. Meskipun bertaburan bintang, Real Madrid “hanya” berhasil merebut “piala hiburan” berupa Copa del Rey. Tentu saja sebuah prestasi yang sangat tidak sebanding dengan “mulut besar” Mourinho dan uang yang sudah dihambur-hamburkan oleh Real Madrid.

Di tahun pertama kepelatihannya (2008/2009), pelatih “ingusan” yang baru pertama kali menangani tim senior FC Barcelona, Guardiola sudah mempersembahkan 6 piala bergengsi, yaitu : La Liga, Copa del Rey, Supercopa des Espana, EUFA Champions League, UEFA Super Cupdan FIFA Club World Club. Sampai dengan Desember 2011, Guardiola sudah mengantarkan FC Barcelona meraih 13 gelar bergengsi. Mengapa demikian? Sebab, sebagai  sebuah tim, FC Barcelona sudah melewati tahap-tahap forming, storming, norming dan tinggal “tancap gas” atau “take-off” untuk performing.

Kendala utama bagi FC Real Madrid untuk segera performing adalah teamwork. Di Real Madrid, turnover pemain relatif sangat tinggi. Konsekuensinya, Real Madrid membutuhkan waktu relatif lebih lama daripada FC Barcelona untuk membangun teamwork yang solid. Terbukti, setelah dua musim kompetisi bersama-sama, tim Real Madrid 2011/2012 jauh lebih kuat dan mampu bersaing melawan tim Barcelona. Melihat teamwork yang semakin membaik, bukan tidak mungkin Real Madrid akan merajai La Liga Spanyol dan Liga Champion 2011/2012.

Team

Jika ada “kambing hitam” yang layak dipersalahkan atas berbagai kegagalan timnas Argentina menjadi juara Piala Dunia dan Copa Amerika, maka kambing hitam itu bernama teamwork.

Dalam buku mereka yang berjudul “The Wisdom of Teams, Creating The High-Performance Organization”, Katzenbach dan Smith (1993) mendefinisikan team sebagai “a small number of people with complementary skills who are committed to a common purpose, performance goals and approach for which they hold themselves mutually accountable.”

Definisi Teamwork dari Webster’s New World Dictionary adalah sebagai berikut  “a joint action by a group of people, in which each person subordinates his or her individual interests and opinions to the unity and efficiency of the group.”

(c) Crimson Studios 2007

Menurut mantan pelatih timnas Argentina, Alfio Basile, kesalahan terbesar mereka adalah tidak memiliki kerjasama tim, sebagaimana saya kutip sebagai berikut :

  • “Bukan kesalahan Messi jika Argentina gagal, Itu sama sekali tidak ada kaitannya. Argentina kalah karena mereka bukan bermain untuk tim, tetapi mereka bermain untuk diri sendiri.”
  • “Di Barcelona, Messi bermain sangat nyaman karena tim tidak bermain untuknya, namun mereka bermain untuk sebuah tim. Mereka bermain melalui Xavi, Sergio Busquets, Selain itu juga ada Dani Alves.”
  • “Jika ingin dibandingkan, Argentina masih belum ada apanya ketimbang klub raksasa Spanyol. Karena permainan Barcelona ialah sebuah kerjasama, sedangkan permainan Argentina ialah permainan diri sendiri.”
  • “Jika ingin menyalahkan, jangan hanya salahkan Messi, tetapi salahkan semua pemain Argentina yang tidak bekerjasama.” Tegasnya. www.channelbola.com 24 July 2011.

Dengan menggunakan definisi dari Katzenbach dan Smith, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya timnas Argentina yang bertanding di ajang Piala Dunia dan Copa America, belum dapat disebut sebagai sebuah team. Mungkin saja timnas Argentina sudah memiliki complementary skills, a common purpose, performance goals, dan approach, tetapi mereka belum memiliki mutually accountable. Tanggung jawab keberhasilan timnas Argentina dibebankan kepada “mukjizat” seorang Lionel Messi.

Team Performance Curve

Katzenbach dan Smith mengklasifikasikan team menjadi working group, pseudo team, potential team, real team, dan extraordinary team. Untuk dapat menunjukkan prestasi, sebuah team harus menjalani “metamorfosa” dari working group menjadi extraordinary team. Tentu saja, diperlukan waktu untuk membangun sebuah extraordinary team.

Copyright (c) 1993 Katzenbach and Smith

Sebagai sebuah team, FC Barcelona telah “khatam” menjalani proses “metamorfosa” sebagai extraordinary team yang telah, sedang, dan akan melanjutkan prestasi. Dalam konteks ini, dapat dimengerti mengapa ada “mantra” never change the winning team.

Sedangkan timnas Argentina, sedang dalam proses “metamorfosa” dari working group menjadi extraordinary team. Timnas Argentina belum menjadi sebuah winning team,  anggota team dan pemimpinnya (baca : pelatih) selalu berganti-ganti.

Dalam konteks group development dan team performance curve, sangat dapat dipahami mengapa performance impact FC Barcelona dan timnas Argentina tersebut bagaikan bumi dan langit.

Tampak Siring,  Januari 8 Januari 2012

 
2 Comments

Posted by on January 30, 2012 in Management

 

Filosofi Sepakbola Johann Cruyff


Ada sebuah peribahasa dalam bahasa Jawa yang sering menjadi bahan “olok-olok” orang, yaitu ngono yo ngono ning ojo ngono (begitu ya begitu tetapi ya jangan begitu). Bagi sebagian orang, peribahasa ini lebih dipandang “lucu” daripada sarat makna.

Padahal, peribahasa ini menegaskan sebuah filosofi kehidupan, bahwa cara sama pentingnya dengan substansi. Dalam peribahasa ini bahkan substansi diwakili oleh dua ngono (yang pertama dan kedua disebut), dan cara hanya diwakili oleh satu ngono (yang disebutkan terakhir).

Apapun hasil yang diraih, tetapi kalau tidak disertai dengan niat yang bersih dan proses yang akuntable, tetap saja tidak baik. Hakikinya, filosofi yang mendasari good corporate governance, corporate social responsibility, dan corporate sustainability management adalah cara-cara (baca : proses bisnis) apapun yang digunakan untuk mencapai hasil (baca : value), cara-cara tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders) dan Tuhan Yang Mahakuasa.

Kasun Enron dan Arthur Andersen yang “kongkalikong” dan Lehman Brothers sudah cukup menjelaskan bahwa cara-cara untuk menjalankan sebuah bisnis harus dapat dipertanggung jawabkan. Karena itu, dibutuhkan sebuah filosofi, kultur perusahaan, nilai-nilai perusahaan,  atau apalah namanya, yang dapat menjadi pedoman manusia bersikap dan berperilaku dalam menjalankan bisnis.

Apakah sebuah kemenangan dalam pertandingan sepakbola penting? Apakah prediket sebagai juara penting? Jika pertanyaan seperti ini disampaikan kepada Jose Mourinho, sudah pasti jawabannya adalah “ya”. Mourinho adalah pelatih “hebat” yang selalu mempersembahkan gelar juara, di mana pun ia melatih. Tetapi jika pertanyaan itu ditujukan kepada Arsene Wenger, Joseph “Pep” Guardiola, dan Johan Cruyff, jawabannya bisa “ya” dan bisa “tidak”.

Mourinho adalah pelatih yang memiliki orientasi pada hasil, cerdas memformulasikan strategi, trengginas dan tuntas mengimplementasikan strategi. Setiap melatih klub sepakbola profesional di negara manapun, Mourinho selalu berhasil mempersembahkan juara liga (kecuali di Real Madrid ia belum berhasil memberikan gelar juara liga Spanyol). Sayang sekali Mourinho tidak memiliki filosofi dan gaya bermain sepakbola. Meskipun Real Madrid telah “inflasi” bintang, terutama di sektor gelandang, Mourinho masih juga “manja” minta dibelikan pemain.

Mourinho hanya mau menggunakan pemain yang siap pakai, sesuai dengan strateginya, dan terutama sesuai dengan “selera”nya. Seorang pemain hebat (tolok ukurnya adalah nilai transfer yang harus dibayar Real Madrid ketika memboyong pemain yang bersangkutan) tetap saja “berlumuran dosa” atau minimal “cacat” menurut sudut pandang Mourinho. Itulah sebabnya Mourinho kurang respek terhadap beberapa pemain seperti Karim Benzema, Lassana Diara, Rafael van der Vaart.

Kalau ada pelatih yang luar biasa sibuk pada saat musim transfer, pasti Mourinho orangnya. Kalau ada orang yang “menghalang-halangi” kemauannya untuk membeli pemain, Mourinho tidak segan-segan untuk “bertengkar” dengan orang tersebut. Itulah sebabnya, seorang Jorge Valdano yang cukup berjasa kepada Real Madrid pun harus dieliminasi agar semua kemauan Mourinho terpenuhi.

Di “kubu” lain, ada pelatih sepakbola yang berusaha “mengawinkan” antara hasil dan proses. Wenger, Guardiola, dan Cruyff tentu saja menginginkan gelar juara.  Bukankah (salah satu) key performance indicator seorang pelatih adalah keberhasilan mengantarkan kesebelasannya menjadi juara di kompetisi liga negara yang bersangkutan maupun di tingkat Eropa. Tidak semua sukses, kecuali Guardiola yang berhasil “mengawinkan” antara filosofi permainan sepakbola, gaya bermain indah, dan juara.

Tetapi seberapa penting sebenarnya fisolofi sepakbola bagi sebuah klub sepakbola, pemilik klub, pelatih, pesepakbola, dan “bobotoh” (baca :  pendukung) sebuah klub? Tidak banyak yang mampu menjelaskan betapa pentingnya sebuah filosofi bagi sepakbola. Salah satu di antara mereka adalah legenda timnas sepakbola Belanda, Johann Cruyff. FC Barcelona yang menganggap dirinya lebih dari sekedar klub, seakan-akan menemukan “jodoh” dengan Cruyff yang berprinsip bahwa filosofi sepakbola adalah penting. Bagaimanakah filosofi sepakbola yang dimaksud oleh Cruyff?  Kutipan berikut menjelaskan apa yang dimaksud dengan filosofi sepakbola oleh Cruyff (www.bola.kompas.com, 29 Mei 2011) :

“Kalah atau menang bukan hal serius dalam filosofi sepak bola Barcelona. Apa pun hasil partai final Liga Champions—menang atau kalah—di Wembley, Minggu (29/5) dini hari WIB tadi, Barcelona merasa sukses jika gaya permainan mereka terus dikenang hingga 15 tahun ke depan.”

”Jika 5, 10, dan 15 tahun ke depan orang masih ingat pada gaya permainan yang kami peragakan saat ini, itu sukses yang sangat besar bagi kami,” kata Pep Guardiola, Pelatih Barcelona, seperti dikutip situs UEFA dalam jumpa pers, Jumat (27/5).

”Cara bermain kami tahun ini telah membuat orang gembira. Saya tidak berpikir hal itu akan berubah, baik apakah kami menang maupun kalah melawan United,” tutur Guardiola, sosok sentral bagi kesuksesan Barcelona dalam dua dekade terakhir.”

 

Guru spiritual Cruyff

“Semangat untuk tidak terpaku pada hasil kalah-menang itu tak lepas dari mahaguru spiritual Barcelona, Johan Cruyff. Seperti dikutip Times, legenda sepak bola Belanda itu menyebutkan, kesuksesan merebut trofi juara merupakan hal yang fantastis. Akan tetapi, jika sukses tersebut tidak tercapai, itu bukan sesuatu yang harus diratapi.

”Juara adalah salah satu hal, hal yang penting. Namun, tampil dengan gaya Anda sendiri membuat orang meniru dan mengagumi Anda. Itu anugerah yang paling besar,” tutur Cruyff.

Photo courtesy of M.J. Kim / Getty Image

Ia memaparkan pengalamannya sendiri. Cruyff mengungkapkan, sampai hari ini banyak orang masih memberi selamat kepada dirinya atas gaya permainan yang diperagakan timnya, Belanda, meski kalah di final Piala Dunia 1974. ”Kami kalah di final dan itu promosi terbesar yang kami peroleh,” ujar Cruyff.

”Menjadi juara itu hanya satu hari. Sebuah reputasi dapat dikenang sepanjang hidup. Anda saksikan, nama Barcelona telah menyebar di seluruh dunia,” ucapnya. Cruyff ingin mendidik masyarakat lewat sepak bola, seperti dilakukan di Barcelona.”

Apakah Filosofi Sepakbola Perlu?

Olahraga adalah olahraga, dan sepak bola adalah sepakbola. Bagi sebagian orang, menghubung-hubungkan olahraga dengan hal-hal di luar olahraga adalah “ngawur”.  Tetapi, suka atau tidak suka, olahraga dan sepakbola memang selalu dihubung-hubungkan dengan segala sesuatu di luar olahraga dan sepakbola.

Mengaitkan antara olahraga dengan politik misalnya, bukan hal yang tabu dan baru. Konstelasi politik saat ini memang sudah sangat berbeda dibandingkan saat dunia masih ditandai oleh permusuhan antara dua negara superpower. Saat itu, boikot terhadap penyelenggaraan olimpiade adalah hal yang lumrah.

Meskipun saat ini sudah jauh berubah, tetapi mencampuradukkan politik dan olahraga tetap saja tidak hilang. Itulah sebabnya, pesepakbola Yosef Shai “Yossi” Benayoun yang berasal dari Israel menjadi “bulan-bulanan” oleh penonton Malaysia ketika tampil dalam pertandingan persahabatan timnas Malaysia dan Chelsea.

Sejatinya, di dunia yang sudah kepalang basah dikuasai oleh ideologi kapitalisme, olahraga pada umumnya dan sepakbola pada khususnya sudah tidak merdeka lagi. FC Chelsea dan FC Manchester City, uang lebih berkuasa daripada nilai-nilai sepakbola. Manchester United sungguh beruntung memiliki pelatih seperti Sir Alex Ferguson. Meskipun saham-saham MU mayorita dimiliki oleh keluarga Glazer, tetapi si pemilik tidak dapat semena-mena mengelola MU semata-mata dari aspek bisnis.

Ketika David Beckham pindah dari Man. United ke klub Real Madrid, persoalan transfer pesepakbola yang pada umumnya hal yang sangat mudah dan sederhana diselesaikan, menjadi rumit karena urusan sponsor. Saat itu, Nike adalah sponsor Man. United, sedangkan kubu Real Madrid mendapat sponsor dari Adidas. David Beckham sendiri telah menjadi “global sport icon” adalah salah seorang “pelopor” pesepakbola yang memiliki personal sponsorship.

Barangkali, hanya FC Barcelona yang seratus persen mengatur pemilik dana. FCB adalah satu-satunya klub sepakbola yang bersedia menerima sumbangan dana, tetapi tidak bersedia mencantumkan nama atau logo sponsor di kaos tim. Barcelona justru memasang logo dan nama Unicef yang justru tidak memberikan sumbangan dana kepada Barcelona.

“Idealisme” FC Barcelona pun akhirnya tumbang. Setelah bertahan 111 tidak bersedia memasang logo sponsor di bagian depan kostum, akhirnya di musim kompetisi 2011/2012 FC Barcelona “terpaksa” memasang logo Qatar Foundation. There is no free lunch. Kebutuhan dana yang relatif besar untuk selalu bertahan dan bersaing di level tertinggi kompetisi sepakbola profesional, mampu “menjebol” keyakinan diri FC Barcelona untuk mempertahankan nilai-nilai yang selama ini dipertahankannya.

Tampak Siring, 29 Agustus 2011

 
Leave a comment

Posted by on December 1, 2011 in Management

 

Eksekusi Strategi (Bagian Kedua)

Seorang sahabat mengirim inspirational qoute dari “FDR” (Franklin Delano Roosevelt) melalui BBM sebagai berikut : “Great minds discuss ideas. Average minds discuss events. Small minds discuss people.” Secara tidak langsung teman saya seolah-olah ingin mengatakan bahwa “ngrumpi” adalah pekerjaan yang tidak baik, entah “ngrumpi” tentang kelemahan rekan kerja maupun “keanehan-keanehan” atasan.

Tidak mau kalah, saya mencoba meng-“utak-atik” kata-kata inspirasional tersebut. Hasilnya adalah kata-kata inspirasional juga – setidak-tidaknya menurut pendapat subyektif saya – sebagai berikut : “Great leader execute strategy. Average leader only discuss strategy. Small leader has no strategy.”

Sebuah pertanyaan dalam artikel berjudul “SAP Strategic Entreprise Management, Translating Strategey Into Action : The Balanced Scorecard” yang ditulis bersama oleh David P. Norton (The Balanced Scorecard Collaborative, Inc.)  dan SEM Product Management SAP AG, sangat tepat mempertanyakan apa yang dikerjakan dan apa yang sudah dihasilkan oleh para eksekutif. Pertanyaannya : “If our job isn’t executing strategy, what is it?”.

Adalah tugas dan tanggung jawab para eksekutif puncak untuk merumuskan misi, visi, sasaran stratejik perusahaan dan sekaligus strategi untuk mencapainya. Adalah juga sudah menjadi tanggung jawab setiap eksekutif puncak untuk memastikan bahwa strategi yang telah diformulasikan dapat dan berhasil dieksekusi.

Kepemimpinan adalah kata kunci memastikan bahwa strategi yang telah diformulasikan dapat dan berhasil dieksekusi. Seorang eksekutif puncak tentu saja bukan sekedar seorang yang memiliki jabatan tertinggi di sebuah perusahaan yang pintar merumuskan misi, visi, sasaran stratejik, dan strategi untuk mencapainya. Untuk mencapai “maqam” Enlightened Leadership (istilah ini dari Ed Oakley dan Doug Krug) pemimpin yang visioner  adalah pemimpin yang mampu membuat para pengikutnya memiliki visinya.

Das Sollen (apa yang seharusnya) memang selalu sama dengan das Sein (apa fakta). Di Indonesia, segala sesuatu yang dianggap dapat “mendongkrak” prestise sosial, akan  “dipelintir” menjadi simbol status. Di dalam organisasi, istilah strategi dan stratejik dianggap mampu menjadi “differentiator”. Orang-orang yang masuk “think tank” dan bertugas untuk memformulasikan strategi sudah merasa berbeda dibandingkan dengan orang-orang yang mengurus operasional sehari-hari perusahaan.

Kegiatan organisasi memang dibedakan menjadi kegiatan operasional dan kegiatan stratejik. Kegiatan operasional adalah kegiatan mengubah input menjadi output. Sedangkan kegiatan stratejik adalah upaya organisasi untuk beradaptasi dan antisipasi terhadap perubahan lingkungan eksternal organisasi. Kegiatan operasional fokus pada jangka pendek (di bawah 1 tahun) dan harian, sedangkan kegiatan stratejik fokus pada jangka panjang (paling tidak 3 sampai dengan 5 tahun ke depan).

Sejatinya, perbedaan dalam hal konten dan fokus antara kegiatan operasional dan kegiatan stratejik tidak menjadikan kegiatan yang satu lebih penting dibandingkan kegiatan yang lain. Adalah manusia yang suka “lebay”, dan kemudian berbekal  “segambreng” alasan, menjadikan kegiatan stratejik lebih penting dibandingkan dengan kegiatan operasional.

Eisenhower menjelaskan bahwa suatu kegiatan tidak hanya dinilai dari variabel penting, melainkan juga kemendesakan (urgency), sebagaimana diperlihatkan gambar berikut :

Menyelesaikan masalah sehari-hari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) wanita di luar negeri adalah penting dan sangat mendesak dan karena itu harus dilakukan saat ini juga. Jika pemerintah belum memiliki strategi perlindungan TKI yang bekerja di luar negeri (dan di dalam negeri), memformulasikan strategi perlindungan adalah penting, tetapi urgensinya untuk saat ini sangat rendah. Pemerintah, DPR dan segenap komponen masyarakat dapat menjadualkan formulasi stategi perlindungan terhadap TKI. Jauh lebih penting dan mendesak adalah menyelesaikan berbagai masalah tenaga kerja Indonesia di luar negeri, terutama mereka yang sudah “antri” menunggu hukuman mati.

Merumuskan Strategi

Secara umum, proses perencanaan stratejik adalah sebagai berikut :

Merumuskan strategi organisasi untuk jangka panjang memang tidak mudah. Di era globalisasi dan perubahan lingkungan eksternal yang berlangsung relatif cepat, membuat strategi jangka panjang jauh lebih sulit dibandingkan masa sebelumnya. Suatu strategi organisasi yang telah selesai dirumuskan kadang-kadang dalam waktu 1 tahun harus sudah direvisi.

Mengeksekusi Strategi

Tetapi masalah sesungguhnya adalah bukan dalam proses merumuskan strategi, melainkan bagaimana mengeksekusi strategi. Kemampuan mengeksekusi strategi inilah yang membedakan antara satu pemimpin dengan pemimpin yang lainnya, yaitu “great leader execute strategy, average leader only discuss strategy, small leader has no strategy.”

Seorang pemimpin tidak pantas disebut sebagai pemimpin sejati jika ia tidak memiliki strategi. Bagaimana ia akan mengeksekusi strategi jika tidak pernah merumuskan strategi. Pemimpin yang “sedang-sedang” saja adalah orang yang “hebat” dalam merumuskan strategi, tetapi ia tidak tahu dan tidak mampu bagaimana mengeksekusi strategi. Derajat terhormat yang harus dicapai seorang pemimpin adalah tahu dan mampu merumuskan strategi, kemudian ia juga tahu dan mampu mengeksekusi strategi.

Ironisnya, mengeksekusi strategi ternyata bukan pekerjaan mudah. Sebuah artikel di majalah Fortune (1999) menyebutkan bahwa 70 % kegagalan CEO bukan disebabkan oleh formulasi strategi, melainkan oleh implementasi yang buruk atas strategi yang telah dirumuskan.

Qin Shi Huang, si Perumus dan Eksekutor Strategi

Sabtu malam 6 Agustus 2011 yang lalu saya menyaksikan tayangan sebuah film dokumenter tentang “The First China’s Emperor” di Metro TV. Pada awalnya, wilayah Republik Rakyat China saat ini sebelum dipersatukan terdiri dari 6 (enam) negara, yaitu : Han, Zhao, Yan, Wei, Chu dan Qin. Penggagas unifikasi China di  bawah satu kerajaan adalah Qin Shi Huang, raja dari negara Qin.

Sejak pertama kali menggagas unifinikasi China di bawah satu kerajaan, Shi Huang berhasil merumuskan dan mengeksekusi strategi unifikasi dalam waktu relatif sangat cepat 9 tahun saja. Pada tahun 221 sebelum Masehi, Shi Huang berhasil mempersatukan 6 negara menjadi kerajaan China dan sekaligus memproklamirkan diri sebagai raja pertama China (www.en.wikipedia.org). Mengingat wilayah China yang relatif sangat luas dan perlawanan dari masing-masing negara, Shi Huang boleh menjadi salah satu “icon” bagaimana mengeksekusi strategi.

Shi Huang memang tidak lama menjadi raja pertama China (berhenti pada tanggal 10 September 210 sebelum Masehi, dokumen lain mencatat s.d. 206 sebelum Masehi). Tetapi prestasi Shi Huang dicatat dalam sejarah bahwa kerajaan China mampu bertahan sampai 2000 tahun kemudian :

During the Qin (Ch’in) Dynasty (221 B.C. – 206 B.C.), the emperor connected and extended the old fortification walls along the north of China that originated about 700 B.C. (over 2500 years ago), forming the Great Wall of China to stop invading barbarians from the north.

The Emperor standardized Chinese writing, bureaucracy, scholarship, law, currency, weights and measures. He expanded the Chinese empire, built a capital in Xian, a system of roads, and massive fortifications and palaces.

Shi Huangdi (259-210 B.C.) was a cruel ruler who readily killed or banished those who opposed him or his ideas. He is notorious for burning virtually all the books that remained from previous regimes. He even banned scholarly discussions of the past.

The Qin dynasty ended soon after his death, but a unified China remained for over 2,000 years. China’s name is derived from his short but seminal dynasty, Qin (pronounced Chin).

In 1974, thousands of life-sized terra cotta warriors and horses from the Emperor’s extravagant tomb were unearthed in Xian.” (www.enchantedlearning.com).

Tampak Siring, 14 Agustus 2011

 
Leave a comment

Posted by on October 3, 2011 in Management